Selasa, 30 November 2010

Teladan Hidup Si Nenek Tua


Hati saya tersentuh saat menonton acara Kick Andy di Metro TV yang ketika itu mengangkat topik tentang perjuangan hidup nenek-nenek tua. Di tengah usia yang kian renta, mereka berjuang mencukupi sendiri kebutuhan hidupnya. Mereka berusaha untuk hidup mandiri, tidak bergantung pada orang lain dan juga tidak ingin merepotkan orang lain, bahkan keluarga sendiri.
Para nenek tua yang kurang beruntung itu ada yang menjadi pemecah batu kali, ada yang bekerja menguliti kacang, ada yang jadi buruh di tempat pembuatan genteng, ada yang jadi pembuat sekaligus penjual mainan anak-anak, dan ada yang menjual pecel. Intinya aneka pekerjaan dilakukan untuk sedapat mungkin mencukupi makan-minum sehari-hari.
***********
Setidaknya ada satu pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah hidup mereka yaitu bahwa  dalam segala keterbatasan bahkan kekurangan mereka, mereka tetap mampu hidup sebagai manusia yang mulia dan terhormat. Mereka hidup tidak semata-mata karena belas kasih orang lain tetapi karena kerja keras mereka sendiri. Mereka hidup tidak dengan menghalalkan segala cara tetapi berjuang atas nama kejujuran.

Senin, 29 November 2010

Pertama-tama Berikanlah Perhatian!


Matahari makin condong ke barat. Sebagian jalan yang kami lalui sudah lepas dari sorot sang surya karena tertutup oleh bangunan-bangunan tinggi yang ada di sisi jalan.
Angkutan kota yang aku tumpangi berhenti di lampu merah, di bawah fly over. Seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun datang menghampiri. Dia menawarkan koran pagi dengan harga yang lebih murah, Rp.2000. Aku merogoh kantong dan mengambil uang kertas Rp. 3000. Dari balik jendela mobil kusodorkan uang itu dan si anak kecil menyodorkan korannya kepadaku. Kuambil koran itu lalu segera membalikkan badan.
Kupikir si anak kecil sudah berlalu. Aku tak lagi mempedulikan ketika dia mengucapkan terima kasih. Aku tak membalas ucapan terima kasihnya. Aku cuek. Kupikir ucapan terima kasih yang keluar dari mulutnya hanya ucapan basa basi yang hilang tanpa makna. Tapi ternyata aku keliru.


Minggu, 28 November 2010

Karena Kita Pun Akan Menjadi (Orang) Tua

Menjadi tua memang bukan pilihan. Suka atau tidak, setiap insan yang berumur panjang pastilah pada akhirnya menjadi tua. Dengan memahami dan menyadari hal ini, kita mestinya bisa bersikap lebih bijak dalam memperlakukan orangtua khususnya yang sudah berusia lanjut.
Tidak semua orangtua hidup beruntung di masa tuanya. Bayangan masa kecil saya mengingatkan saya pada seorang nenek tua penjual sirih di pasar dekat rumah. Dia tak sekedar tua tapi benar-benar sudah renta. Badannya bungkuk dan jalannya tertatih-tatih. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tapi dalam kondisi seperti itulah dia berjuang untuk menyambung hidupnya sebagai penjual sirih. Pinang yang ada di karung kecil, daun sirih dan gambir di tas plastik sering diseretnya sendiri naik dan turun angkot. Beruntung kalau ada yang berbaik hati membantu mengangkatkannya.
Saya berpikir mungkin si nenek tua itu tidak punya anak. Seandainya dia punya anak pastilah sang anak akan membantunya, atau bahkan dia tak harus melakukan pekerjaan itu. Dan seandainya dia punya anak, anaknya pasti tidak akan membiarkan dia mengangkat yang berat-berat. Si nenek tua akan tinggal di rumah, duduk santai, bermain sama cucu, dan tak perlu khawatir akan urusan makan minum. Ya, itu seandainya dia punya anak. Tapi mungkin dia tak punya, pikir saya. Karena itu bisa dipahami bila dia terpaksa berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. (Kita patut prihatin bahwa ada banyak orang tua yang bernasib seperti ini).


Sabtu, 27 November 2010

minta maaf lah !

            Dalam perjalanan pulang, suatu sore, saya mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari perempatan lampu merah. Setelah mendekat tampaklah dua orang bapak-bapak sedang bersitegang. Rupanya mobil mereka baru saja bersenggolan sehingga salah satu mobil tergores di sisi kanan. Tak ada yang mau mengalah. Keduanya saling menyalahkan. Maka segeralah terdengar saling menuding dengan suara keras.
            Kapan pertengkaran mereka akan berakhir? Entahlah! Ketika saya naik angkot untuk pergi, belum terlihat tanda-tanda tercapainya kesepakatan. Keduanya masih mempertahankan posisi masing-masing.
            Ada pengalaman lain. Di suatu siang, angkot yang saya tumpangi melaju kencang mencoba menyalib mobil lain yang ada di depan. Pada saat yang sama sebuah sepeda motor buru-buru memutar arah dari arah berlawanan. Akibatnya angkot yang saya tumpangi menyerempet motor tersebut hingga jatuh ke aspal. Syukurlah pengendaranya, seorang bapak setengah baya, tidak mengalami cidera. Sementara angkot yang saya tumpangi terlepas kaca spionnya dan pecah.

            Lalu apa yang dilakukan pengendara motor dan sopir angkot? Apakah mereka bertengkar dan saling memaki?
            Ternyata tidak! Dugaan saya meleset. Sopir angkot menepikan mobilnya lalu turun mengambil spionnya yang jatuh. Sementara pengendara motor yang jatuh langsung bangkit dan mengangkat sendiri motornya. Segera pengendara motor menghampiri sopir angkot, lalu dengan mimik menyesal dia meminta maaf kepada sopir angkot. Dia mengaku salah karena terburu-buru memutar arah. Sopir angkot juga minta maaf karena kurang hati-hati dan melaju terlalu kencang. Keduanya lalu bersalaman, tersenyum, dan segera berpisah. Tak butuh waktu lima menit bagi mereka untuk berdamai.
            Saya sendiri, beberapa tahun yang lalu, pernah diserempet mobil ketika mau menyeberang jalan. Waktu itu saya naik motor. Pada saat sudah di tengah jalan raya, tiba-tiba sebuah mobil yang hendak berbelok ke pom bensin di sebelah kanan jalan, menyerempet dengan keras bagian belakang motor saya. Saya pun jatuh tapi syukur tidak ada cidera apa-apa. Motor saya hanya sedikit tergores.
            Saya segera mengangkat motor saya lalu menghampiri mobil tersebut yang sudah berhenti di depan pom bensin. Sopir dan beberapa orang di atasnya langsung turun menemui saya. Mereka bergantian meminta maaf sambil menanyakan keadaan saya. Sang sopir terlihat sangat menyesal dan mengakui kesalahannya. Saya terenyuh dengan sikap mereka sehingga tak lagi mempermasalahkan peristiwa itu. Akhirnya kami bersalaman lalu masing-masing pergi dengan perasaan lega.
*******
            Mengaku salah dan meminta maaf, bagi sebagian orang menjadi persoalan yang tidak gampang. Hal tersebut dipandang seolah-olah sebagai tindakan yang merendahkan martabat dan menurunkan reputasi. Seolah-olah tindakan meminta maaf menempatkan sesorang pada posisi yang lemah, sebagai pihak yang salah, yang kepadanya pantas dituntut pertanggungjawaban. Maka tidak heran, sebagian orang akan mati-matian mempertahankan posisinya sebagai pihak yang benar, meskipun terang-terangan dia yang salah. Sebaliknya dia berusaha menutupi kesalahannya justru dengan melimpahkan kesalahan pada orang lain.
            Sikap merasa paling benar dan tak mau mengalah inilah yang menjadi awal dari konflik berkepanjangan. Setiap benturan kepentingan atau sekedar persinggungan kecil diperlakukan seolah-olah sebuah kompetisi yang harus dimenangkan. Kemenangan yang seolah-olah menjadi bukti betapa seseorang patut diperhitungkan dan tak boleh disepelehkan. Kemenangan yang seolah-olah memberinya pengakuan dan rasa hormat sebagai seseorang yang bermartabat dan taat aturan. Padahal kemenangan yang dipaksakan itu tak lebih dari kemenangan semu yang justru merendahkan dirinya sendiri.
            Sekedar mengalah sesungguhnya mampu mendinginkan suasana yang panas. Dengan begitu tidak perlu ada kompetesi gengsi yang harus dimenangkan. Sikap sportif untuk berani mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf menjadi sesuatu yang sangat penting. Setidaknya sikap tersebut mampu menghilangkan perdebatan yang panjang tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Bahkan sikap seperti inilah yang mampu mengakhiri konflik dengan segera.
            Bagi saya sendiri, permintaan maaf yang tulus jauh lebih mengesankan daripada bentuk ganti rugi manapun.  Ada perasaan lega yang tidak tergambarkan ketika seseorang mengaku salah dan menyesali perbuatannya. Apalah gunanya bila seseorang membayar suatu harga tapi tak pernah ikhlas dan justru merasa terpaksa. Itu hanya bentuk kemenangan semu. Kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika masing-masing pihak berdiri pada posisi yang tepat, benar jika benar dan salah jika salah, lalu mengakhiri konflik dengan perasaan damai dan bersahabat. Maka sportif lah!

Jumat, 26 November 2010

NEGERI para pemarah

Maaf jika saya sedikit berlebihan menyebut negeri ini sebagai negeri para pemarah. Bukan berarti saya ingin merendahkan martabat negeri ini. Sama sekali tidak. Karena bagaimana pun negeri ini adalah negeri saya. Namun izinkan saya mengungkapkan sedikit kegelisahan dan kegundahan hati saya menyaksikan tontonan perilaku sesama anak negeri ini.
Dahulu kala, ketika saya masih duduk di bangku SD, saya selalu bangga bila ibu guru atau bapak guru menceritakan hal-hal yang membuat negeri ini dikenal dan dikagumi bangsa lain. Salah satu ciri yang selalu ditonjolkan adalah karakter warganya yang sopan, ramah, dan terbuka. Katanya itulah salah satu daya tarik bagi turis asing untuk berkunjung ke negeri ini. Para turis asing itu tak hanya disambut dengan hangat tapi bahkan disanjung-sanjung sebagai tamu terhormat.
Selain itu warga negeri ini juga dikenal hidup sangat rukun dan suka menolong. Musyawarah untuk mufakat adalah semboyan hidup yang menghiasi pergaulan sehari-hari. Ketika terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat, mereka akan duduk bersama dihadapan pemuka adat atau pemuka agama untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Semua diselesaikan dengan kepala dingin.

Kamis, 25 November 2010

Di Kelas Itu, Dulu...


Setelah tamat kuliah saya langsung pulang ke kampung. Ketika itu sekolah-sekolah sibuk menerima murid baru. Tak ketinggalan dua keponakan saya juga mau masuk sekolah dasar. Maka saya berinisiatif untuk mengantar mereka ke sekolah. Kebetulan saya juga kangen untuk melihat sekolah itu lagi, tempat pertama kali saya mengenal huruf dan angka, lalu menulis, membaca dan berhitung. Rindu melihat dan merasakan kembali suasana belajar semasa kecil dulu.
Setelah urusan pendaftaran selesai, saya mengantar keponakan saya ke ruang kelas dan mencarikan tempat duduk untuknya. Itulah kali pertama saya masuk lagi ke ruang kelas itu setelah saya tinggalkan enam belas tahun yang lalu. Kenangan di kelas itu langsung datang membayang. Saya tersenyum sendiri mengingat semuanya.
Dulu bangku dan meja ini masih terasa berat. Untuk mengangkatnya kami harus berdua. Sekarang satu tangan saja saya bisa mengangkatnya. Dulu meja ini terasa terlalu tinggi hingga saya kesulitan menulis di atasnya, sekarang justru sudah terlalu rendah buat saya.

Rabu, 24 November 2010

Lamunan Malam


Malam larut dalam alunan jarum jam
Bumi membisu bersama kesenyapan alam
Dan segenap makhluk terbaring dalam pelukan bumi

Hanya aku seorang
Tinggal termenung dalam sepi
Mengenang hari lalu dan memimpikan hari esok
Ada harapan sekaligus rasa kuatir
Tapi hanya Sang Khalik  yang tahu
Kemana nasib bermuara.

Selasa, 23 November 2010

"Pete-pete" yang Panas: Tentang Kesabaran dan Kepedulian

            Hari itu cuaca cukup panas. Sesekali aku mengernyitkan dahi sambil menyeka keringat yang terus mengucur di wajah. Pete-pete (sebutan angkot di Makassar) yang sesak penumpang, ditambah keadaan lalu lintas yang macet melengkapi kegerahan kami siang itu. Sebentar saja pete-pete berhenti, maka segera terdengar desah kegelisahan para penumpang. Semua ingin pete-pete melaju lancar agar hawa panas di dalamnya sedikit berkurang.
            Keadaan yang tidak meng-enak-kan itu ternyata dapat menjadi ujian kesabaran bagi siapa saja yang berada dalam pete-pete itu.
            Lihatlah Pak Sopir! Saking tidak sabarnya, dia tiada henti membunyikan klakson seolah-olah kendaraan di depannya sengaja menghalangi. Padahal tanpa diklakson pun kendaraan di depan pasti akan maju seandainya lalu lintas tidak macet. Siapa juga yang mau berlama-lama di jalan yang panas begitu? Dan karena tidak sabar pula, begitu ada jalan yang kosong, sang sopir langsung tancap gas membuat penumpangnya ngeri ketakutan.
            Lain lagi dengan penumpang. Ketika angkot berhenti sebentar saja untuk menunggu penumpang baru, para penumpang mulai gelisah dengan wajah-wajah cemberut. Karena tidak sabar, kadang ada yang menggerutu dan mulai terdengar desas-desus kegelisahan. Mungkin mereka lupa bahwa sesungguhnya dari bayaran penumpang-lah sang sopir dan keluarganya menggantungkan hidup. Jadi wajar bila sang sopir berusaha menunggu penumpang-baru agar muatannya penuh. Tapi tentu jika terlalu lama, penumpang boleh menegur sang sopir.

Senin, 22 November 2010

Pelajaran Dalam Keadaan Sakit

            Segala  kesulitan hidup, seperti sakit fisik yang kita alami mestinya tidak serta-merta dipahami sebagai bentuk hukuman Tuhan. Keadaan sakit terjadi tentulah sudah didahului agenda kebaikan bagi diri kita. Orang beriman meyakini bahwa rancangan Tuhan pastilah indah pada waktunya.
            Keadaan sakit memang menimbulkan rasa derita bagi orang yang mengalaminya. Tetapi derita bukanlah tujuan, melainkan hanya sebagai sarana pe-mulia-an manusia. Ibarat logam mulia, manusia pun melewati api pe-mulia-an yang panas dan terasa menyiksa demi menghasilkan manusia yang utuh dan berkualitas.
            Dengan memahami serta meyakini rencana indah Tuhan di balik derita yang kita alami, kita akan sabar dan ikhlas menjalani hidup ini. Mungkin ini akan terasa berat, tapi keyakinan akan rencana Tuhan membuat kita berani memikul seberat apa pun beban itu. Jauh sebelum tantangan itu diberikan, pastilah Tuhan telah menakar kemampuan kita. Kalau pun kita terpaksa jatuh karena tak lagi kuat, pastilah Tuhan segera mengangkat kita.
            Melalui keadaan sakit kita bisa belajar banyak hal. Kita lalu memahami betapa lemah dan terbatasnya kita sebagai manusia. Sekuat dan sehebat apa pun kita, tetap saja tidak semua hal bisa kita lakukan. Mungkin ada saatnya kita jatuh dan jadi tak berdaya. Kita membutuhkan pertolongan orang lain. Maka segera kita akan mengerti arti kebersamaan, arti kekeluargaan, arti perhatian, arti belas kasih.

Minggu, 21 November 2010

Iman Dalam Segelas Air


Bapak kos dan keluarganya adalah contoh keluarga orang beriman. Mereka sangat tekun dalam menjaga dan menjalankan ajaran agama. Dari balik jendela kaca, saya sering menyaksikan mereka melakukan sholat secara bersama-sama.
Ketika pamit berangkat ke Makassar untuk berobat beliau sempat mengingatkan saya agar selalu berdoa mohon kesembuhan dari Tuhan. Katanya pula, dokter dan obat-obatan itu hanyalah alat, yang menentukan adalah izin Allah. “Biar hanya segelas air putih, tapi kalau diisi dengan doa, percayalah itu bisa memberi kesembuhan. Bukan karena airnya, tapi karena Allah berkenan atas doa yang tulus itulah yang menyembuhkan”, katanya.
Nasehat bapak kos di akhir pertemuan, dua setengah tahun yang lalu itu, hampir saja saya lupakan. Rupanya saya terlalu sibuk memikirkan sakit yang saya alami, terlalu mengkhawatirkannya, dan terlalu sibuk dengan berbagai tawaran kesembuhan. Sering saya lupa berdoa dan tak lagi menjalin hubungan yang intim dengan Tuhan. Saya lupa bahwa esensi dari kesembuhan itu ada dalam tangan Tuhan. Tentu tidaklah salah melakukan banyak usaha, tapi mestinya semua usaha itu berisikan doa yang sungguh-sungguh. Segala usaha pada akhirnya hanyalah kesia-siaan jika Tuhan tidak merestui.

Sabtu, 20 November 2010

Fasilitas yang Terbengkalai


Sekarang ruangan HD terasa panas. AC yang baru digunakan dua bulan itu tak lagi berfungsi karena rusak. Mestinya segera diperbaiki. Tapi sayangnya, tiga bulan berlalu sejak kerusakan itu, belum juga ada perbaikan. Padahal pasien yang menjalani HD sangat membutuhkan alat pendingin tersebut. Dugaan saya, AC itu hanya mengalami kerusakan kecil mengingat AC itu adalah  AC baru. Tetapi karena tidak ada perhatian sama sekali dari pihak RS, akhirnya dia dibiarkan begitu saja.
Hal yang sama terjadi pada wastafel. Wastfafel itu jatuh dan pecah gara-gara dijadikan tempat pegangan ketika si cleaning service jatuh terpeleset di lantai yang basah dan licin. Hingga sekarang belum ada tanda-tanda kalau wastafel itu akan diganti.
Lain lagi dengan pintu.

Jumat, 19 November 2010

di kota ini


Di kota ini hatiku berlabuh
Semenjak pandangan beradu
Bertahun yang lalu

Di kota ini kutorehkan kisah
Dalam hujan yang tercurah
Bahwa asmara sedang tumpah

Di kota ini aku kembali
Mencari cinta yang sejati
Moga setia tak pergi.

Kamis, 18 November 2010

h u j a n


Hujan berderai
Bumi basah
Aku meringkuk dalam dingin
Sepi tak berteman
Hanya mimpi...mimpi yang terus membayang
Akan hadirnya kau di sini
Disini di sisiku
Lekat di hatiku.

Rabu, 17 November 2010

memahami si sakit

Sakit secara fisik kadang ikut mempengaruhi kesehatan mental dan emosional. Hal ini terjadi terutama pada orang-orang dengan penyakit kronis atau menahun. Seseorang menjadi lebih sensitif dan reaksional. Dia kurang dapat mengontrol emosinya sehingga terlihat suka marah-marah. Hal ini kadang menjadi masalah bagi keluarga yang merawatnya.
Pak Setiawan misalnya. Dia mengalami penyakit ginjal kronik sehingga harus cuci darah rutin tiga kali seminggu. Menurut penuturan istrinya, semenjak sakit dia mulai cepat emosional. Bila dia meminta sesuatu dan tidak segera dipenuhi, dia pun langsung marah-marah. Atau bila istrinya melarang dia makan sesuatu yang jadi pantangan baginya, dia langsung membentak dan memaki-maki istrinya.
Awalnya istri Pak Setiawan mencoba bersabar. Dia berpikir itu hanya reaksi sesaat suaminya dan akan segera berubah. Tetapi ternyata tidak.

Selasa, 16 November 2010

musim tanpa cinta


Dimanakah kehangatan ketika musim dingin tiba
Dimanakah kesejukan ketika musim panas mendera
Hatiku gelisah...
Terperangkap dalam sejuta tanya
Sebab tak kutemukan cintamu.

Minggu, 14 November 2010

Ketika Belajar Menulis

Rasanya makin bodoh saja saya ini. Sudah cukup lama saya tidak belajar. Sejak meninggalkan bangku kuliah sekian tahun silam, saya mulai jarang membaca buku. Pengetahuan yang selama ini saya peroleh, bukannya bertambah tetapi justru sedikit demi sedikit mulai terlupakan. Saya tak pernah lagi mengikuti perkembangan yang terjadi di negeri ini sebagaimana seharusnya seorang terpelajar. Saya menjadi  miskin berita dan referensi. Akibatnya saya hanya terpelongo menyaksikan teman-teman lama yang sekarang tampil mapan baik ilmunya maupun ekonominya.
Sepertinya tak adil memang bila saya mempersalahkan keadaan. Banyak orang yang meskipun berada dalam keadaan terpuruk tetap mampu belajar dan berjuang mencapai kesuksesan. Tetapi saya telah melakukan sebaliknya. Saya berdiam diri dan tak mampu berbuat apa-apa karena alasan sakit. Saya tak mampu keluar dari tekanan penyakit ini yang mengendalikan pergerakan saya selama bertahun-tahun. Saya telah memberi seluruh perhatian pada penyakit ini sehingga lupa untuk belajar dan mengikuti perkembangan di luar sana.
Ketika seorang teman menyarankan saya untuk mulai menulis sebagai alternatif kegiatan yang bisa saya lakukan, saya menjadi kebingungan.

Sabtu, 13 November 2010

Mengejar Akhirat

“Kita ini, sekarang tinggal berusaha mengejar hidup akhirat. Kalau mau mengejar kehidupan dunia, kita sudah tak mampu”. Begitulah kata Pak Agil, seorang bapak berusia sekitar lima puluh tahun, yang juga menjalani cuci darah bersama saya.
Perkataan itu membuat saya merenung. Sepertinya ada kebenaran di dalamnya. Kebenaran bahwa pasien cuci darah seperti kami tak perlulah punya mimpi yang muluk-muluk. Tak perlulah terlalu risau memikirkan bagaimana kehidupan hari esok di dunia fana ini. Toh visa kunjungan di dunia ini sebentar lagi akan berakhir dan tak bisa diperpanjang. Karena itu kami mesti pasrah saja menjalani semuanya. Mungkin inilah suratan takdir dari Yang Ilahi.
Batin saya mencekam merenungkan semuanya itu. Saya takut membayangkan perjalanan saya di dunia ini akan berakhir begitu tragis dan dramatis. Saya masih sangat muda, pikirku. Saya sedih. Dalam hati saya mulai menangisi diriku sendiri sebagai makhluk yang malang. Sedikit demi sedikit nyali kehidupan saya mulai menciut. Rasanya garis akhir perjalanan ini makin dekat saja.

Jumat, 12 November 2010

Orang-orang Egois Memenuhi Angkot

            Kadang saya benar-benar merasa dongkol ketika menaiki angkutan kota (angkot). Angkot di kota ini menggunakan mobil mikrolet yang kursi penumpangnya dibuat berhadapan dari kedua sisinya. Kedongkolan saya bukan soal angkotnya, setidaknya untuk saat ini. Kedongkolan saya terutama saya alamatkan pada perilaku sesama penumpang yang sering egois, tidak peduli pada sesama penumpang yang lain.
            Inti persoalannya adalah tempat duduk. Sebenarnya tidak ada masalah ketika angkot itu baru diisi beberapa orang. Dengan begitu kita masih dapat duduk dengan mudah karena masih banyak tempat yang kosong. Tetapi keadaan akan berbeda ketika hanya tersisa satu atau dua tempat yang kosong. Ketika ada seorang penumpang baru yang akan naik, bisa jadi dia akan sangat kebingungan bahkan jadi salah tingkah. Kenapa? Karena tidak tidak ada celah lagi untuk meletakkan pantatnya.
            Seringkali angkot memang dimuati oleh orang-orang yang egois, orang-orang yang bersikap cuek, yang tidak peduli. Ketika ada penumpang baru yang naik, orang-orang ini berpura-pura mengalihkan perhatiannya dan berharap orang lain-lah yang bergeser. Bahkan tidak jarang di tempat yang sesempit itu ada saja yang posisi duduknya dibuat miring sehingga memakan tempat lebih banyak. Posisi duduknya baru akan berubah ketika ditegur penumpang lain atau sopir angkot. Kadang dengan sedikit tersenyum, saya harus bertanya, “Maaf, bolehkah saya duduk?”.

Kamis, 11 November 2010

Hal Sederhana yang Bermakna

Iman saya sering terasa begitu rapuh. Bayangan akan kematian serangkali begitu menakutkan. Menakutkan karena merasa diri belum siap dan menakutkan karena kematian itu sendiri masih diselimuti banyak misteri. Satu hal yang sepenuhnya saya dan semua orang sadari adalah bahwa dia pasti datang. Entah kapan.
Suatu waktu saya mengirim pesan singkat (sms) kepada seorang teman. Saya menulis, “Kematian adalah sebuah kepastian. Kita semua tahu bahwa ini hanyalah masalah waktu. Dan ‘waktu’ itu selamanya menjadi misteri bagi manusia. Namun seandainya kamu tahu bahwa ‘waktu’ itu tidak akan lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?”.
Agak lama saya menunggu barulah datang balasan darinya. Katanya, “Menyadari bahwa kita ada yang punya dan dapat diambil sewaktu-waktu, menghargai waktu dengan kegiatan positif, tentu saja juga ibadah, menatap matahari pagi dan senja sore dengan rasa bersyukur”.

Isi sms balasan tersebut sudah bisa saya duga, kecuali bagian akhirnya tentang “menatap matahari pagi dan senja sore dengan rasa bersykur”. Saya tersenyum membaca bagian akhir ini. Sangat sederhana, betul-betul sangat sederhana. Tak menguras tenaga apalagi biaya. Siapa pun dapat melakukannya, tak terkecuali orang yang sedang sakit.

sang bintang diam


Wahai bintang hidupku
Mengapa kau sembunyikan keindahanmu
Marahkah engkau padaku
Atau bosankah  engkau menemuiku



Mengapa kau diam
Aku resah
Menatap langit dan bertanya: kapan bintangku bersinar lagi

Rabu, 10 November 2010

hidup MULIA walau MISKIN

Sudah dua tahun lebih saya menggunakan jasa becak untuk menyambung perjalanan ke RS setelah turun dari angkutan kota. Umumnya para tukang becak  sudah mengenal saya, setidaknya kenal muka. Beberapa dari mereka bahkan telah menjadi langganan saya sehingga kami tak perlu lagi tawar-menawar harga.
Suatu ketika sopir angkot tidak mendengar saya menyetop mobil sehingga terpaksa saya turun agak jauh dari pangkalan becak tempat saya biasa turun. Di situ kebetulan ada sebuah becak yang sedang mangkal. Si tukang becak pun langsung menawarkan becaknya. Tanpa tawar-menawar saya langsung naik dan menyebut arah RS.
Sesampai di depan RS saya turun dan langsung menyodorkan empat lembar uang seribuan yang sebelumnya telah saya siapkan. Setelah sekilas melihat jumlah uang saya sodorkan, si tukang becak sedikit mengernyitkan dahi, tidak mau menerima uang itu, sambil berkata “Lima ribu, mas”. Wah mahal sekali pikir saya.

Selasa, 09 November 2010

Ketika dia TAK lagi CANTIK

Saya masih ingat ketika pertama kali dia masuk ruangan HD didorong oleh suaminya di atas kursi roda. Wajahnya pucat dan badannya lemas. Beberapa orang keluarganya ikut mengantarnya masuk, termasuk seorang putrinya berusia kira-kira 3 tahun.
Dia masih cukup muda. Baru berusia 24 tahun saat itu. Kulitnya sawo matang. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Cuma di bagian  kaki terlihat ada pembengkakan akibat penumpukan cairan dalam tubuh.
Dia kemudian dibaringkan di atas tempat tidur. Nafasnya sesak sehingga harus dibantu dengan tabung oksigen. Dia sangat kesulitan mengatur nafasnya, membuatnya terlihat seakan mau menangis.
Hari itu adalah hari pertama dia menjalani HD. Dia meringis menahan rasa sakit yang luar biasa ketika perawat mulai menusukkan vistula (jarum HD) di lengan kirinya, dan dilanjutkan pada pembuluh femoralis tepat di lipatan pahanya. Bagaimana tidak, jarum yang digunakan jauh lebih besar dari ukuran jarum suntik biasa. Belum lagi jika sulit menemukan pembuluh darahnya maka akan dilakukan tusukan berulang-ulang sampai berhasil. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya ditusuk jarum besar itu.

Senin, 08 November 2010

Di Penghujung Waktu

Di balik tatapan sayu dan senyum getir mereka
Masihkah bersemayam sebuah harapan?
Dalam erangan lirih dan sengal nafas mereka
  
Masihkah terbayang indahnya hari esok?

Pilu hati ini memandangnya
Mereka lelah...
Gelisah menatap “jam hidup” mereka yang makin lemah berdetak
Entah kapan berhenti

Hari-hari mereka adalah penantian penuh misteri

Satu pintaku o Tuhan
Jangan biarkan derita merenggut iman mereka
Tapi hiasilah malam-malam mereka dengan mimpi surgaMu
Agar mereka tak gentar
Bila sang surya tak kembali

Kamis, 04 November 2010

Harapan Tiada Akhir

            “Sangat sulit bagiku memaknai sebuah harapan dalam keberadaanku saat ini”. Kalimat itu kukirimkan kepada seorang sahabat lewat layanan pesan singkat (SMS). Tak berapa lama dia langsung membalasnya dengan menulis:
            “Baik atau buruk suatu kondisi tergantung kita mempersepsinya. Tuhan melimpahkan kasih sayang terus menerus. Setiap detik berharga. Mengapa kita menyiakannya dengan diam? Harapan selalu ada. Tuhan tidak tidur. Manusia memang kecil, lemah. Karena itu kita butuh Dia. Hanya Dia yang Maha Besar, yang membuat semua mungkin. Kita hanya perlu percaya sepenuhnya padaNya”.
            Ketika pertama kali membaca sms itu, bukannya saya merasa terhibur atau mendapat kekuatan tetapi justru saya semakin merasa kecil dan mulai menyalahkan diri sendiri. Sms itu terasa menjadi sebuah tudingan bagi saya. Bahwa saya telah salah mempersepi kehidupan. Bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu yang ada. Bahwa saya ini tak punya semangat juang. Bahwa iman saya begitu rapuh. Bahwa saya tidak mampu berbuat apa-apa. Dan bahwa betapa tak bermaknanya diriku bagi kehidupan ini. Saya menangis mendapati diriku yang lemah.