Sabtu, 26 November 2011

Selamat Ulang Tahun, Tom!

Kemarin adalah ulang tahun saya. Saya genap berusia 26 tahun. Banyak teman yang memberi ucapan selamat. Ada yang langsung menelepon, ada juga yang hanya mengirim pesan lewat sms atau situs pertemanan, facebook. Ada yang memberi ucapan agak panjang, ada juga yang sangat singkat dengan menulis “HBD” saja.  Tapi terlepas dari panjang-pendeknya pesan-pesan itu, intinya sama. Mereka memberi saya sesuatu. Sesuatu itu adalah kebahagiaan.
Saya bahagia tidak saja karena umur saya masih dipanjangkan, tapi terutama karena saya tahu bahwa ada sekian banyak orang yang sayang sama saya. Ada sekian banyak orang yang peduli sama saya. Ada sekian banyak orang yang berempati sama saya. Ada sekian banyak orang yang mendukung saya. Ada sekian banyak orang yang mendoakan saya. Ada sekian banyak orang yang mengharapkan saya menjadi baik. Mereka itu tak lain adalah keluarga saya, teman-teman saya, sahabat-sahabat saya, atau sekedar kenalan-kenalan saya. Mereka memenuhi saya dengan perhatian dan kasih sayang.
Maka, betapa pun kemarin tidak ada perayaan yang semarak, betapa pun kemarin tidak ada acara tiup lilin dan potong kue, dan betapa pun kemarin saya harus berulangtahun di ruang hemodialisa, saya tetapLah merasa bahagia. Bahagia karena aku dicintai.
Terima kasih Indo’ dan Ambe’. Terima kasih keluargaku semua. Terima kasih sahabat-sahabatku. Terima kasih kekasih hatiku.
Di atas semuanya itu, terima kasih, puji syukur, dan segala hormat dan kemuliaan hanya bagi Dia, Tuhan Yang Maha Kasih.
Selamat ulang tahun, Tom.

Kamis, 24 November 2011

Dokter Malas

Setahu saya, di ruang HD telah ditugaskan seorang dokter jaga. Dan setiap dua atau tiga minggu, dokter itu akan diganti oleh dokter lain. Tapi saya sering heran, kenapa dokter-dokter itu jarang sekali terlihat berjaga (stand by) di ruang HD. Kalaupun ada dokter yang datang, kebanyakan hanya datang untuk menandatangani rekam medis pasien. Setelah selesai, dia langsung pulang. Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada dari dokter jaga tersebut yang memeriksa atau sekedar melihat-lihat kondisi pasien yang sedang menjalani HD.
Menjadi pertanyaan saya, apa iya dokter  jaga itu hanya ditugaskan untuk datang tanda tangan?
Tidak adanya dokter jaga yang benar-benar berjaga di ruang HD, kadang menimbulkan masalah bagi pasien. Pasien yang sedang kehabisan obat, misalnya, terpaksa tertunda untuk mendapatkan resep hingga dokter tersebut masuk. Begitu pula jika ada pasien yang tiba-tiba menggigil atau tiba-tiba tidak enak perasaannya, tidak ada dokter yang siap menolong. Kalaupun kemudian perawat menelepon dokter, belum tentu dokter itu bisa segera datang.
Saya mencoba memahami. Dokter-dokter itu pasti sangat sibuk. Cuma menurut saya, mestinya, sesibuk apapun mereka, tugas jaga di ruang HD itu tidak boleh ditinggalkan begitu saja.
Mereka juga tidak perlulah berjaga seharian penuh. Bahkan tidak masalah kalau mereka tidak bisa hadir setiap hari. Tapi saya kecewa ketika mereka kebetulan datang, dan hanya datang untuk menandatangani berkas pasien, lalu pulang. Saya kecewa karena kebanyakan dokter itu tidak pernah benar-benar memeriksa keadaan pasien atau sekedar berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya. Karena kecewa, saya terpaksa menyebut mereka (maaf)  “dokter malas!”.

Rabu, 23 November 2011

Inilah Untungnya Jadi Orang Kurus

Badan kurus punya tantangan tersendiri. Bagi sebagian orang, keadaan ini sering membuat minder karena dianggap tidak good looking. Dan, bahkan, akan terdengar menyakitkan bila ada yang mengolok dengan sebutan “si kurus”, “kurang gizi”, atau “tengkorak hidup”. Ada juga yang mengejek dengan berkata,  “awas lho ketiup angin!”.
Namun begitu, ternyata badan kurus itu ada juga untungnya. Keuntungan itu terutama saya sadari setelah saya menjalani cuci darah dimana saya harus sering-sering berhadapan dengan jarum suntik, jarum infus dan tusukan jarum-jarum cuci darah.
Ditusuk jarum itu menyakitkan. Apalagi jarum infus dan jarum cuci darah yang ukurannya lebih besar. Sakit dan perih. Celakanya, menemukan pembuluh yang tepat itu ternyata tak selalu mudah. Dokter dan perawat sering kesulitan dan terpaksa melakukan tusukan beberapa kali untuk mendapatkan tusukan pada pembuluh darah yang tepat.
Dan inilah untungnya jadi orang kurus. Dokter dan perawat tidak perlu terlalu repot menemukan pembuluh darah yang diinginkan. Karena pada orang kurus seperti saya, pembuluh darahnya mudah terlihat dan dengan merabah sebentar saja, dokter atau perawat dapat segera menentukan lokasi tusukan yang tepat. Biasanya sekali tusukan langsung berhasil. Dengan begitu, setidaknya saya tidak perlu merasakan sakit lebih lama.
Hal itu berbeda pada orang yang berbadan gemuk. Tumpukan lemak yang tebal menyebabkan pembuluh darah mereka tertutup sehingga sulit ditemukan. Akibatnya mereka terpaksa harus menahan rasa sakit dan perih lebih lama gara-gara ditusuk berulang kali sampai pembuluh darahnya ditemukan.
Tak jarang saya melihat ada pasien yang sampai menangis, mengerang, bahkan berteriak-teriak  karena tak tahan ditusuk berkali-kali. Maka bercermin dari semua itu, saya sadar! Ternyata ada untungnya jadi orang kurus.

Selasa, 22 November 2011

Saya Jauh Lebih Beruntung

Andai waktu diputar kembali hingga sebelum lima tahun yang lalu, saya yakin tak seorang pun dapat menduga kalau hidup saya akan menjadi seperti sekarang ini. Ketika SD dan SMP saya selalu tampil sebagai bintang kelas. Ketika SMA, meskipun tidak tampil sebagai bintang kelas, tetapi saya selalu menonjol setidaknya untuk mata pelajaran Agama dan Bahasa Indonesia. Selalu saja ada yang mengatakan kalau masa depan saya akan sukses dan cemerlang.
Tapi kemudian apa yang terjadi? Setamat kuliah saya didiagnosis mengalami penyakit ginjal kronis dan disarankan segera menjalani cuci darah. Dan singkat cerita, saya akhirnya rutin menjalani cuci darah tiga kali seminggu. Siapa yang pernah menduga hal ini? Pada titik ini, mungkin saya pantas disebut malang.
Tapi  baiklah. Saya tak akan menyebut diri ‘malang’ di sini. Saya akan belajar bersyukur.
Seorang teman sesama pasien cuci darah pernah berkata, “Kamu masih beruntung Yed. Meskipun kamu sakit tapi kamu punya keluarga dan teman-teman yang perhatian sama kamu. Kamu bahkan punya pacar yang tak hanya cantik, tapi juga setia (hehehe…). Tidak seperti aku! Orangtuaku sudah tidak ada. Dan kamu tahu..teman-teman bahkan pacarku sendiri pergi meninggalkan aku”.
Ya, ternyata saya memang jauh lebih beruntung dibandingkan sekian banyak orang yang lain. Keberuntungan yang sering tidak saya sadari tatkala saya larut meratapi penyakit saya. Keberuntungan yang jarang saya syukuri karena menganggap diri sungguh bernasib malang. Toh, kenyataannya banyak orang lain yang lebih susah hidupnya, yang sebenarnya lebih pantas mengeluh, tetapi justru mereka lebih sabar, lebih tegar dan lebih ikhlas menjalani hidup ini.
Ya, sungguh banyak yang pantas saya syukuri. Setidaknya, saya masih bisa bernafas lega di saat ada pasien yang sedang kesulitan bernafas karena sesak. Saya masih bisa berjalan lincah di saat ada pasien yang terpaksa diangkat karena sudah tidak kuat jalan. Saya masih bisa makan sendiri di saat ada pasien yang  disuapi. Saya masih bisa mandi sendiri. Saya masih bisa jalan-jalan di mall. Saya masih bisa pergi sendiri ke gereja. Saya masih bisa internetan. Bahkan saya masih bisa membersihkan kamar dan menyapu rumah setiap pagi.
Dan yang terpenting, seperti kata seorang teman di atas, saya beruntung karena selalu dikelilingi oleh orang-orang terkasih yang setia dan penuh perhatian. Di atas semua itu, saya beruntung karena Tuhan memberi saya kesempatan menikmati berlimpah cinta-Nya di dunia ini. Semoga Dia mengampuni segala dosa dan ke-kurangbersyukur-an saya atas rahmat hidup yang telah saya terima.
“Jadi, bersyukurlah Yed! J

Kamis, 17 November 2011

Memeluk Penyakit ala Gede Prama

Kadang saya merasa sedih dengan keadaan sakit seperti ini. Bagaimana tidak, saya sekarang tidak lagi bebas kemana-mana karena harus rutin cuci darah. Saya tidak lagi bebas memakan makanan yang saya mau karena harus mengatur asupan makanan. Saya tidak lagi bebas melakukan pekerjaan yang agak berat karena saya gampang capek. Singkatnya, aktivitas saya menjadi begitu terbatas. Tinggal di rumah tanpa ngapa-ngapain setiap hari, serasa tinggal di pengasingan yang membosankan.

Rupanya, menjalani cuci darah selama 4 tahun belum sepenuhnya mampu membentuk saya menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas. Saya masih sering mengeluh. Saya masih sering sedih. Saya masih sering menyesali keadaan. Mental dan iman saya masih mudah rapuh.

Pada suatu kesempatan, setelah membaca beberapa tulisan Gede Prama di sebuah blog, saya meninggalkan pertanyaan buat beliau di kolom komentar. Singkatnya, saya mohon nasehat dan bimbingan beliau bagaimana agar saya bisa berdamai dengan penyakit saya dan bagaimana agar saya bisa bersikap lebih tulus dalam menerima keadaan saya saat ini.

Dengan lembut dan penuh empati, beliau membalas pesan saya. Beliau menulis:

Yed, saya sangat berempati dg sakit Anda. Di umur semuda Anda, Anda sdh dibebani penyakit seberat itu. Bedanya dg pendekatan Barat yg membuang segala hal yg berbau negatif (penyakit, kesedihan, penderitaan dan sejenis), dlm pendekatan kesembuhan ala Timur, kesembuhan lebih mungkin terjadi kalau kita memandang dan memperlakukan kehidupan secara holistik. Sederhananya, serupa siang dan malam, mirip cuaca terang dan mendung, keduanya senantiasa ada secara berdampingan, bukan ada sebagai dua hal yg bermusuhan. Ini yg disebut holistik. Belajar dr sini, belajarlah memeluk penyakit Anda, selembut Anda memeluk kesehatan, belajar menyongsong kematian sebagaimana Anda menyongsong kelahiran dulunya. Sebagaimana bunga hari ini yg akan menjadi sampah beberapa hari kemudian, demikian juga dg tubuh kita.

Logika sederhananya, saat penyakit dipeluk, kematian disongsong dikira hidup kita tambah menderita. Pengalaman banyak orang bercerita sebaliknya. Siapa saja yg memeluk penyakitnya (baca: pandang virus penyakit sebagai Ibu yg pernah merawat Anda, sekarang giliran Anda membayar hutang kebaikannya) kemudian merasakan rasa lebih ringan, enteng, bebas. kematian juga serupa, semakin ditakuti semakin berbahaya. Ibarat berjumpa ular di lantai 3, bila seseorang melompat ketakutan, ia mati bukan karena ular, tapi mati kerena ketakutannya yg berlebihan. Berbekalkan ini, Anda boleh melaksanakan meditasi sederhana: “Saat menarik nafas berguman ke dalam, saya menarik nafas bersama rasa sakit. Saat menghembuskan nafas, saya sadar kalau saya sedang sakit”. Intinya dua, saat menarik nafas belajar ‘merawat’ rasa sakit seperti seorang Ibu merawat bayi tunggalnya. Saat mengehembuskan nafas, sadari dan awasi rasa sakit jangan sampai menimbulkan efek berbahaya sebagaimana anak kecil yg melompat ke sana ke mari. Selamat mencoba. Tks

Rabu, 16 November 2011

Maut Itu Misteri Tuhan

Saya semakin yakin bahwa kematian seseorang adalah semata-mata misteri Tuhan. Tak ada yang dapat memastikan kapan, dimana dan bagaimana hal itu terjadi.
Hal itulah yang dialami oleh tetangga saya hari ini. Pagi hari dia berangkat kerja dalam kondisi sehat dan segar. Tapi siapa sangka, sore harinya dia pulang ke rumah dalam keadaan sebagai mayat. Dia meninggal setelah terjatuh dari gedung dimana dia bekerja.
Kematian memang menjadi topik yang menakutkan bahkan mengerikan bagi kebanyakan orang. Membicarakannya saja orang enggan.
Jujur, saya pun sering takut dengan bayang-bayang kematian. Apalagi dengan penyakit yang saya alami saat ini, rasanya pintu kubur semakin dekat saja.
Tapi kemudian saya merenung. Adakah gunanya saya mengkhawatirkan kematian itu? Toh dipikirkan atau tidak dipikirkan, maut itu pasti datang. Dan apa gunanya menerka-nerka saatnya kapan? Dokter saja tidak dapat memastikan berapa umur seseorang.
Dari beberapa buku yang saya baca, saya mulai menyadari bahwa ketakutan, kekhawatiran, atau kesedihan justru akan memperburuk kondisi saya. Sebaliknya saya mulai mengerti bahwa keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, dan doa yang sungguh-sungguh akan berdampak positif bagi kondisi fisik, psikis, dan rohani saya.
Maka daripada saya larut dalam perasaan sedih dan ketakutan pada bayang-bayang kematian, saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa pasti ada hal indah di balik sakit ini. Bahwa selalu ada hal-hal positif yang pantas disyukuri.
Dan yang terpenting saya meyakinkan diri saya bahwa di dalam Tuhan, segala yang baik pasti terjadi. Karenanya, saya tidak boleh kehilangan pengharapan. Saya tidak boleh putus asa. Sebaliknya saya harus meyakini bahwa mujizat Tuhan mampu memulihkan kesehatan saya. Saya harus semangat!