Senin, 19 Desember 2011

Santun



Tensimeter digital saya sering mengundang  perhatian para mahasiswa keperawatan yang sedang berpraktek di ruang HD. Rupanya sebagian besar dari mereka belum pernah melihat tensimeter digital semacam itu. Kadang mereka berkerubung sekedar untuk melihat bagaimana memakainya atau bertanya berapa harganya. Dengan senyum ramah, saya pun menjawab rasa penasaran mereka. Beberapa dari mereka biasanya akan minta izin untuk mencoba mengukur tensi mereka sendiri dengan alat itu. Saya pun tidak keberatan.
Tapi dalam pertemuan berikutnya, saya sering kesal dengan ulah mereka. Sering sekali mereka mengambil tensimeter saya tanpa meminta izin. Setelah mengambil, mereka yang berjumlah belasan orang itu, mulai antri mencoba tensimeter saya. Selesai mencoba, tanpa sedikit pun merasa bersalah, mereka mengembalikan tensimeter saya begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih.
Sebenarnya saya tidak pernah keberatan jika mereka ingin mencoba alat yang bagi mereka masih asing itu. Saya hanya menyesalkan sikap mereka yang sering tidak santun. Apalagi mereka adalah orang-orang yang masuk hitungan berpendidikan tinggi.
Saya agak khawatir. Jika sekarang mereka mulai belajar mengambil barang orang lain tanpa izin, bagaimana nanti jika mereka menjadi orang-orang yang punya kekuasaan? Saya hanya berharap mudah-mudahan kelak mereka tidak sampai menjadi koruptor!

Jumat, 16 Desember 2011

Payung di Mata Saya dan Sahabat

Musim hujan kadang mengingatkan saya pada seorang sahabat saya. Dia dan saya punya sudut pandang yang berbeda soal payung. Bagi saya, payung tak lebih dari alat perlindungan diri di musim hujan agar badan tidak jadi basah. Karenanya, jika hendak bepergian saat sedang turun hujan, saya pasti mencari payung.
Tapi sahabat saya lain. Dia menyebut diri laki-laki sejati. Makanya, dia lebih memilih basah kuyup diguyur hujan daripada harus memakai payung. Kenapa? Karena baginya, payung hanya pantas dipakai oleh kaum wanita. Jika ada laki-laki yang memakai payung, meskipun sedang turun hujan, laki-laki itu pantas disebut banci. Singkatnya, payung itu menurunkan harga diri seorang laki-laki sejati.
Dalam beberapa kesempatan ketika kami harus keluar rumah untuk mencari makanan dan kebetulan sedang turun hujan, dia memilih berlari-lari menerobos hujan menuju warung sedangkan saya dengan santai berjalan sambil memakai payung. Dalam hati saya hanya bergumam, Hmm..jangan-jangan di matanya, saya ini tak lebih dari seorang banci gara-gara saya memakai payung. Bagaimana menurut Anda?

Kamis, 15 Desember 2011

Kecelakaan Konyol yang Memalukan

Malu! Itulah reaksi yang paling saya ingat ketika tanpa sengaja saya menabrak pintu kaca sebuah minimarket. Kejadian konyol yang benar-benar memalukan. Kejadiannya sekitar jam 7 malam, 15 Maret 2011.  Ketika itu saya bermaksud membeli beberapa perlengkapan mandi. Saya sedikit buru-buru karena waktu itu ada tanda-tanda akan turun hujan.
Setelah memarkir motor, dengan langkah cepat layaknya orang yang buru-buru, saya bergegas mau masuk ke minimarket. Saya benar-benar tidak memperhatikan kalau pintu kaca itu sedang dalam posisi tertutup. Dan “akhh…”, saya menabrak pintu kaca itu sangat keras. Beruntung pintu kaca itu tidak pecah. Tapi semua mata yang ada di minimarket itu langsung mengarah ke saya.
Bibir saya sakit sekali. Saya langsung meraba jangan-jangan bibir saya berdarah, tapi syukurlah ternyata tidak ada darah.
Menyadari kalau banyak orang yang melihat saya, dan sepertinya mereka berusaha menahan tawa, saya langsung mengubah mimik muka saya seolah saya baik-baik saja. Tepatnya, saya berpura-pura merasa tidak sakit. Padahal makin lama bibir saya terasa makin tebal dan perih. Dan untuk menyamarkan rasa sakit dan rasa malu saya waktu itu, saya cepat-cepat mengambil barang yang saya inginkan lalu saya bayar di kasir.
Seolah memahami rasa malu yang saya derita, orang-orang yang ada di situ tak satu pun yang memberi komentar. Buru-buru saya kembali meninggalkan minimarket itu dengan rasa malu yang tidak terkira.
Sepanjang perjalanan ke rumah, saya mulai dibayangi  bagaimana orang-orang di minimarket tadi sedang menertawakan saya. Terbayang bagaimana ekspresi muka mereka membicarakan kekonyolan saya tadi. Saya jadi tambah malu karena salah satu dari mereka, seorang ibu, meskipun tidak akrab, tetapi kenal sama saya karena rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Dia pasti pulang ke rumah lalu menceritakan kejadian tadi. Dan terbayang mereka sekeluarga menertawakan saya. Benar-benar memalukan.
Sesampai di rumah, saya langsung mengambil cermin dan memeriksa bibir saya. Ternyata bibir atas saya memar dan mulai bengkak. Bagian dalamnya terlihat sedikit berdarah, mungkin karena kena gigi.
Saya kemudian mengompresnya dengan air hangat, berharap bengkaknya segera berkurang. Namun yang terjadi sebaliknya. Bibir saya malah semakin tebal. Bahkan malam itu saya tidak bisa mengunyah makanan. Namun karena belum makan malam, terpaksa nasinya langsung saya telan saja tanpa dikunyah. Saya tidak bisa makan banyak malam itu. Apa boleh buat.
Keesokan paginya, bibir saya terlihat makin bengkak. Jelek banget! Saya malu sendiri melihatnya. Saya tidak berani keluar rumah. Untuk membeli Thrombophob Gel—obat anti bengkak— saja, pagi itu saya terpaksa memakai masker. Harga obatnya lima puluh ribu.
Bengkaknya berlangsung beberapa hari. Dan sepanjang itu pula, saya selalu memakai masker setiap kali keluar rumah. Tak lupa, untuk mengatasi bengkaknya, setiap hari saya kompres dengan air hangat dan saya beri Thrombophob Gel secukupnya.
Beruntung, tidak cukup satu minggu, bengkaknya sudah hilang. Rupanya Thrombophob Gel cukup manjur. Tapi meski begitu, bibir saya tetap kelihatan memar. Tak apalah, pikir saya. Yang penting bibir saya tak lagi bengkak seperti moncong babi. Sebelumnya saya sempat khawatir kalau-kalau bibir saya akan selamanya bengkak seperti itu. Bisa-bisa saya dijuluki “Pangeran Babi”,hehehe..
Puji Tuhan, sekarang bibir saya sudah sembuh. Meskipun sekarang memang terlihat sedikit kurang simetris karena bekas lukanya meninggalkan sedikit tonjolan kecil, tapi lagi-lagi “tak apalah” pikir saya. Ini sudah kemajuan yang pesat. Pemulihan yang pantas disyukuri. Terima kasih Tuhan atas bibir yang Kau berikan ini.
Anda tahu? Ternyata rasa malu itu bisa lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang sebenarnya (pada tubuh fisik kita). Pesan saya, hati-hatilah memasuki ruangan yang berdinding kaca. Jangan sampai Anda menabrak kacanya. Karena ternyata saya bukan korban pertama. Hahaha…
Berikut beberapa foto seputar kecelakaan konyol itu, dari yang terparah sampai yang mulai membaik.







Sabtu, 03 Desember 2011

Teman Lama dan Foto Terbaruku

Seorang teman lama, baru-baru ini mengirim sms dan bertanya sedikit heran, “Yed, kemarin aku liat foto-fotomu di Fb. Tapi aku bingung. Itu yang baru, yang mana ya? Soalnya ada yang agak gemuk tapi kok ada yang kurus banget ya?” Sambil tersenyum saya jawab, “Yang keliatan paling kurus, itu yang terbaru kawan”.
“Ah masa sih?”, katanya.
Begitulah. Lagi-lagi ada yang tak percaya. Sebagaimana saya sendiri kadang tak percaya.