Kamis, 16 Februari 2012

Orang Miskin Tak Seharusnya Sakit?

Kadang saya berpikir kalau orang miskin memang tak seharusnya sakit. Memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi jika harus ditambah dengan biaya pengobatan yang mahal. Tentu semuanya menjadi lebih berat. Mungkin itulah sebabnya sebagian orang dengan terpaksa memilih di rawat di rumah saja daripada harus dirawat inap di rumah sakit. Atau memilih berobat secara alternatif saja daripada harus berobat secara medis. Syukur-syukur jika pengobatan alternatif itu berhasil. Jika tidak, rasa sakit terpaksa ditahan hingga mujizat datang atau maut yang menjemput. Tapi mungkin kita tak harus pesimis begini. Kita percaya Tuhan punya rencana indah dalam perjalanan hidup kita. Ya!
Saya jadi teringat pada seorang teman HD, seorang bapak berusia kira-kira 50 tahun. Dia sudah meninggal sekitar dua tahun lalu. Setiap mau HD, dia selalu datang sendirian. Tak ada yang mengantar. Begitu juga saat dia pulang. Dia pulang dengan mengendarai motor sendiri. Diam-diam, saya sering memperhatikan bapak itu makan pada saat HD berjalan. Tahu gak apa yang saya lihat? Yang saya lihat adalah bapak itu selalu makan dengan lauk yang sama. Ikan kecil dengan lebar sekitar 3 cm—yang saya tidak tahu namanya—dicampur dengan sambal yang banyak. Selalu begitu. Tak pernah saya melihatnya memakai lauk yang lain.
Berbeda dengan saya. Saya lebih sering makan dengan lauk yang bervariasi. Kakak saya tinggal membelikan sesuai keinginan saya. Meskipun memang bukan makanan-makanan mahal yang saya pesan. Tapi setidaknya, lauk saya tidak monoton seperti bapak itu. Saya kasihan melihatnya. Dia sering terlihat kurang berselera dengan lauk yang—menurutku—membosankan itu.
Saya memang beruntung. Meskipun saya harus HD dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, tapi Tuhan menolong saya secara luar biasa. Tuhan mempertemukan saya dengan banyak orang yang berhati mulia. Orang-orang yang membantu saya tidak saja secara moriil tapi bahkan juga secara materiil. Kehadiran mereka sungguh telah banyak menolong saya keluar dari kesulitan.
Di antara orang-orang berhati mulia itu, terdapat teman-teman saya. Terutama teman-teman SMA saya. Mereka sering datang ramai-ramai mengunjungi saya di rumah. Tak jarang mereka membawakan saya bingkisan. Tapi tak hanya itu. Mereka juga mengumpulkan dana untuk saya. Dana yang sangat menolong saya untuk membeli obat-obatan dan—bahkan—untuk biaya hidup sehari-hari. Maklum saya tak punya penghasilan.
Mereka sungguh baik. Semua itu diberikan dengan satu garansi: ikhlas. Ya ikhlas tanpa suatu syarat apa pun. Ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasannya. Ikhlas memberi sebagai saudara dan sahabat.
Saya terharu. Meski mereka telah banyak membantu saya, tak sedikit pun mereka memandang rendah saya. Mereka tetap menghargai dan menghormati saya. Penghargaan mereka pada saya, saya rasakan tak sedikit pun berkurang. Di mata mereka, saya bukanlah seseorang yang hanya pantas dikasihani, tapi seorang sahabat yang memang harus dikasihi. Ya, saya yakin itu. Yakin bahwa mereka menolong saya karena mereka mengasihi saya. Mereka mencintai saya.
Dalam hati saya berdoa bagi mereka. Semoga Allah yang Maha Kaya, membalas kebaikan mereka dengan kesehatan, rezeki dan kebahagiaan yang melimpah. Saya juga berdoa dan berharap, semoga kelak saya diberi kesempatan melakukan sesuatu untuk menghargai kebaikan dan cinta mereka. Amin. Terima kasih para sahabat. Terima kasih juga Tuhan karena telah mengirim orang-orang berhati mulia itu pada saya.

Rabu, 15 Februari 2012

I Love U, Jantungku

Kadang bila sedang buka baju, kupandangi bagian dadaku yang sekarang terlihat begitu kurus dengan tulang rusuk yang menonjol jelas. Oh sekarang denyut jantungku terlihat jelas di dada bagian kiri. Bahkan boleh dibilang sangat jelas, sehingga denyutnya bisa dihitung hanya dengan melihatnya, tanpa perabaan. Tak hanya itu, sepertinya tekanannya juga tambah kuat. Jika diperhatikan saat aku memakai baju, denyut jantungku akan tergambar pada bajuku yang juga sedikit bergetar.
Kata dokter, jantungku mengalami pembesaran. Pembesaran itu disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang berlangsung lama. Sedangkan tekanan darah tinggi tersebut kemungkinan disebabkan oleh rendahnya hemoglobin dalam darahku. Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Jika hemoglobin rendah atau kurang, jantung akan bekerja ekstra untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan oksigen di seluruh jaringan tubuh. Hal itulah yang memicu pembesaran jantung. Jika diusut ke pangkalnya sebenarnya semua ini adalah komplikasi lebih lanjut dari kerusakan ginjalku.
Katanya jantung yang membesar bisa berujung pada serangan jantung. Aku ngeri kalau membayangkan dua kata itu,  serangan jantung. Aku tahu dua kata itu bisa benar-benar berakibat fatal. Tapi aku yakin, jantungku adalah jantung yang kuat. Buktinya selama ini dia baik-baik saja. Aku juga yakin kalau jantungku selalu mau kuajak kompromi. Dia sahabat yang baik. Meskipun kerjanya menjadi lebih berat, dia tetap setia menjagaku.
Kepada jantungku, kukatakan ini,
“Jantungku yang baik, tetap semangat ya. Terima kasih buat semua kebaikanmu. Aku tahu engkau selalu melakukan yang terbaik untukku. Aku juga minta maaf kalau sekarang membuatmu bekerja lebih keras. Aku tak bermaksud menyusahkanmu. Semua ini di luar keinginanku. Tapi percayalah, sebagai sahabat yang baik, semuanya akan kita hadapi bersama. Kalau kita kompak, dan berserah pada Sang Pencipta, kita pasti kuat dan berhasil. Kita menjadi sehat dan bahagia. Tetap semangat, jantungku. I love you.”

Senin, 13 Februari 2012

Menikah di Usia 25

Menikah di usia 25 tahun pernah menjadi obsesi pribadiku. Meskipun sebenarnya aku tidak punya alasan yang logis mengapa aku ingin menikah pada usia itu. Satu-satunya alasan yang bisa aku katakan adalah karena aku suka angka 25. Mungkin karena aku lahir pada tanggal tersebut.
Obsesi itu sebenarnya obsesi yang sedikit muluk atau berlebihan. Bagaimana tidak, hingga tamat kuliah aku belum pernah menjalin hubungan serius dengan seorang cewek. Tepatnya aku belum pernah pacaran. Meskipun aku pernah beberapa kali dekat dengan seorang cewek, tapi kedekatan itu ujung-ujungnya hanya berakhir dengan status teman. Jujur aku memang pemalu dan kurang pandai bergaul. Mungkin itu sebabnya aku selalu kesulitan untuk menyatakan cinta pada cewek yang aku taksir. Padahal mungkin saja kan cewek itu sebenarnya juga suka sama aku. Hahaha, kepedean :P
Tapi ya begitulah. Meskipun belum punya pacar, tetap saja aku pengen nikah di usia 25. Entah kenapa aku tak pernah khawatir soal jodoh. Mungkin karena aku yakin kalau jodoh itu berada di tangan Sang Pencipta. Dan aku juga yakin bakal bisa dapat jodoh sebelum menginjak usia 25. Hahaha..pede banget ya.. Tak hanya itu, dalam hati aku sudah membuat perencanaan menuju ke sana.
Rencananya aku lulus kuliah pada usia 22. Lalu setidaknya pada usia 23, aku sudah punya pekerjaan tetap. Dengan begitu, aku punya waktu sekitar 2 tahun untuk bekerja. Hasil kerja itu nantinya akan aku bagi tiga. Sebagian untuk biaya hidup sehari-hari, sebagian untuk bapak dan ibu, dan sebagian lagi aku tabung. Aku berharap dengan menabung sedikit-sedikit, kelak aku sudah ada modal menuju pelaminan. Singkat cerita, pada usia 25 aku sudah siap menikah.
******
Kini usiaku sudah 26. Lebih malah. Tapi jangankan menikah, tanda-tanda menuju ke sana saja, tidak jelas. Aku sadar, obsesi menikah di usia 25 hanya tinggal mimpi. Tapi tak apalah. Mimpi itu tak harus disesali. Bukankah aku percaya bahwa jodoh itu berada di tangan Sang Pencipta? Ya mungkin ini belum saat yang tepat bagiku. Tuhan pasti sudah mempersiapkan saat lain yang lebih tepat.
Saat ini Tuhan sedang mempercayakan aku mengemban penyakit ginjal kronik ini. Walau terasa berat, aku ikhlaskan diri menerimanya. Aku yakin Tuhan sedang menempah aku menjadi pribadi yang kuat, pribadi yang murni. Aku yakin Dia sendirilah yang akan menolong aku melaluinya. Semoga aku berhasil melalui ujian ini.
Dan setelah semuanya aku lalui dengan baik, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih itu, segera menganugerahi aku pemulihan dan segera mempertemukan aku dengan kesehatan yang sudah lama aku rindukan. Dan semoga setelah sembuh, Dia pun mempertemukan aku dengan rezeki dan jodoh yang baik. Amin.

Senin, 06 Februari 2012

Ngantuk

Rasa ngantuk sering betul menghampiri saya di pagi hari. Kadang ngantuk sekali. Tulang-tulang terasa lemas dan badan mulai lesu. Kalau sudah begitu, pilihannya adalah tidur. Biasanya setelah tidur sekitar satu jam, badan akan kembali lebih segar.
Sepertinya rasa kantuk itu adalah efek samping dari obat antihipertensi yang saya minum. Soalnya setelah obat itu saya minum, tak lama kemudian saya akan mulai merasa ngantuk. Sebaliknya kalau kebetulan saya lupa minum obat itu, ternyata saya tidak merasa ngantuk.
Tapi bagaimanapun obat antihipertensi itu harus rutin saya minum setiap pagi. Kalau tidak, tekanan darah saya bisa naik dan tidak terkontrol. Saya tidak mau kejadian sekitar dua tahun lalu terulang. Waktu itu saya mengabaikan untuk minum obat. Saya pikir tensi saya akan baik-baik saja. Ternyata tanpa sadar tensi saya sudah naik tinggi sekali. Saya baru menyadarinya setelah saya tiba-tiba keringat dingin, sesak dan batuk darah. Rasanya pembuluh darah saya mau pecah waktu itu. Di lengan saya bahkan muncul bintik-bintik merah yang lumayan banyak.
Jadi kalaupun benar rasa kantuk itu adalah efek dari obat antihipertensi, tak apalah pikir saya. Ini bukan efek yang harus dikhawatirkan. Toh solusinya sederhana, tidur sebentar. Setelah itu, semuanya akan kembali baik-baik saja. Satu-satunya yang saya khawatirkan adalah mengantuk saat mengikuti misa di gereja. Apalagi karena saya selalu ikut misa pagi. Pernah sekali waktu, saking ngantuknya, saya tidak sadar dan sempat tertidur di kursi pada saat Pastor tengah berkhotbah. Saya baru tersadar setelah umat berdiri dan terdengar riuh mengucapkan syahadat. Kaget dan malu bukan main. Ternyata cuma saya yang duduk.

Sabtu, 04 Februari 2012

Ngantor

“Ga ngantor Mas?”, begitu Mas Kadino sering menyapaku saat pertama ketemu di pagi hari. Seolah-olah aku ini beneran pekerja kantoran. Tapi itulah sapaan khas Mas Kadino padaku saat ini. Aku tahu dia cuma bercanda. Tapi dalam hati aku juga diam-diam mengamini kata-kata itu. Ya, aku berharap suatu hari nanti aku benar-benar bisa ngantor di suatu kantor sungguhan, bukan di “kantor” yang sekarang, “kantor” yang sebenarnya lebih bermakna ledekan.
Memang sebagian orang mengira aku sudah bekerja. Mereka berpikir begitu hanya karena sering melihatku berangkat dari rumah sambil menggendong tas—layaknya seseorang yang mau berangkat kerja— di pagi hari, lalu pulang ke rumah dengan wajah lesu di sore hari. Bahkan kadang ada saja yang bertanya ke kakakku, “Tomas kerja dimanakah?”. Biasanya kakakku tertawa kecil dulu—karena merasa lucu dengan pertanyaan itu—baru menjelaskan fakta yang sebenarnya. Hehehe…
Faktanya, aku belum bekerja. “Kantor” yang dimaksud Mas Kadino tidak lain adalah rumah sakit tempat aku menjalani hemodialisis. Pergi ke sana rutin tiga kali seminggu, memang sudah terlihat beda-beda tipis dengan pegawai rumah sakit. Apalagi waktu yang dibutuhkan untuk berada di sana lumayan lama, sekitar 6 jam. Maka tak heran jika orang yang hanya melihatku lewat di jalan akan mengira aku benar-benar berangkat kerja.
Tapi tak apalah. Aku amini saja anggapan keliru itu—bahwa aku sudah bekerja—sebagai doa bagi masa depanku. Aku yakin, jika Tuhan berkenan menyembuhkan aku,  kelak aku pasti benar-benar bisa ngantor. Amin.

Jumat, 03 Februari 2012

Nyanyian Anak Petani

Dulu, sewaktu masih SD, kami selalu bernyanyi sebelum pelajaran dimulai. Bapak atau Ibu Guru memandu kami. Biasanya dua atau tiga lagu kami nyanyikan. Kami menyanyi dengan suara lantang dan penuh semangat khas anak-anak. Selesai bernyanyi, kami berdoa bersama dipimpin seorang siswa. Setelah itu barulah pelajaran dimulai.
Bernyanyi, mungkin itulah cara paling mujarab untuk mengusir kantuk yang sering masih menghinggapi kami di pagi hari. Bahkan bukan cuma di pagi hari, di sela-sela pelajaran siang pun kami sering diajak bernyanyi, terutama kalau kami mulai terlihat lesu atau jenuh. Tujuannya tidak lain supaya kami lebih bergairah belajar.
Lagu-lagu yang kami nyanyikan terdiri dari lagu-lagu wajib nasional, lagu-lagu Sekolah Minggu, dan lagu-lagu umum untuk anak-anak. Tidak terlalu banyak lagu yang diajarkan pada kami. Mungkin karena Bapak atau Ibu Guru juga tidak tahu banyak lagu. Tapi dari sekian lagu yang sering kami nyanyikan, ada satu lagu yang selalu saya ingat karena termasuk salah satu lagu kesukaan kami kala itu.
Lagunya sangat sederhana. Liriknya pendek sehingga gampang diingat. Lagu itu bercerita tentang petani. Kami sangat meresapi lagu itu. Mungkin karena hampir semua dari kami adalah anak petani. Lagu itu seolah menjadi bagian dari diri kami. Maka tak heran, kami senang sekali menyanyikannya.
Matahari di pagi hari
Di sawah bekerja petani
Bergembira menanam padi
Untuk makanan anak negeri
Masa kecil itu sudah berlalu hampir 20 tahun. Dan sudah belasan tahun saya tak pernah lagi menginjak sawah. Tak pernah lagi bermain lumpur. Tak pernah lagi memegang padi. Tak pernah lagi merasakan terik matahari atau dinginnya hujan di tengah sawah. Ah, saya kangen suasana itu. Saya kangen berada di sawah bersama ayah atau ibu, atau kakak, atau teman-teman, dan yang lain-lain. Saya kangen suasana desaku.

Kamis, 02 Februari 2012

Hari Ini Aku Harus Menulis

Hari ini aku harus menulis. Itulah tekadku pagi ini. Menulis sesuatu, apa pun itu, yang penting menulis. Maka di pagi yang sejuk ini aku berusaha bangun lebih awal. Setelah cuci muka dan minum sedikit air (pasien HD tidak boleh minum banyak air), aku segera mengambil laptop dan mulai menghidupkannya. Aku awali dengan memutar lagu-lagu rohani dari laptop itu. Tenang dan teduh rasanya mendengarkan lagu-lagu rohani yang lembut saat pagi-pagi begini. Syukur padaMu, Tuhan.
Oh iya, ternyata hari ini aku harus HD lagi. Tapi ada hal yang sedikit berbeda. Aku sekarang harus HD di rumah sakit lain, RS Stella Maris Makassar. Ini kali kedua aku HD di sana. Aku terpaksa pindah ke rumah sakit ini karena di rumah sakit sebelumnya, RS Labuang Baji, sedang kehabisan alat dan bahan. Aku sendiri kurang paham kenapa alat dan bahan untuk HD itu bisa kehabisan stok. Katanya sih biaya pengadaan alat dan bahan tersebut belum dibayarkan oleh pihak rumah sakit sehingga pihak distributor tidak mau mengirimkan barangnya. Pertanyaannya, kenapa belum dibayarkan? Memangnya tidak ada dana? Masa iya? Setahu aku dana sekian milyar sudah dikucurkan pemerintah untuk membiayai pasien yang masuk dalam tanggungan Jamkesmas. Atau mungkin dana itu kurang ya? Atau jangan-jangan  ini ada hubungannya dengan kabar angin bahwa pejabat rumah sakit sebelumnya memang bermasalah? Entahlah. Itu tugas penyidik.
Ada hal lain yang berbeda hari ini. Jika biasanya aku HD pada hari Senin, Rabu, dan Jumat, hari ini aku HD pada hari Kamis. Itu karena aku baru pindah dan mulai HD di RS Stella Maris pada hari Selasa kemarin. Dan karena harus HD tiga kali seminggu maka jadwal HDku dijadikan Selasa, Kamis, dan Sabtu. Perubahan ini tak masalah karena frekuensinya masih tetap, tiga kali seminggu.
Hmm…aku masih bingung mau nulis apa. Aku tidak punya ide. Ah sudahlah, lebih baik aku sarapan dulu. Nanti tambah kurus dan tambah loyo kalau terlambat makan. Siapat tahu setelah makan ada ide spektakuler yang tiba-tiba muncul, hehehe…