Kamis, 17 November 2011

Memeluk Penyakit ala Gede Prama

Kadang saya merasa sedih dengan keadaan sakit seperti ini. Bagaimana tidak, saya sekarang tidak lagi bebas kemana-mana karena harus rutin cuci darah. Saya tidak lagi bebas memakan makanan yang saya mau karena harus mengatur asupan makanan. Saya tidak lagi bebas melakukan pekerjaan yang agak berat karena saya gampang capek. Singkatnya, aktivitas saya menjadi begitu terbatas. Tinggal di rumah tanpa ngapa-ngapain setiap hari, serasa tinggal di pengasingan yang membosankan.

Rupanya, menjalani cuci darah selama 4 tahun belum sepenuhnya mampu membentuk saya menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas. Saya masih sering mengeluh. Saya masih sering sedih. Saya masih sering menyesali keadaan. Mental dan iman saya masih mudah rapuh.

Pada suatu kesempatan, setelah membaca beberapa tulisan Gede Prama di sebuah blog, saya meninggalkan pertanyaan buat beliau di kolom komentar. Singkatnya, saya mohon nasehat dan bimbingan beliau bagaimana agar saya bisa berdamai dengan penyakit saya dan bagaimana agar saya bisa bersikap lebih tulus dalam menerima keadaan saya saat ini.

Dengan lembut dan penuh empati, beliau membalas pesan saya. Beliau menulis:

Yed, saya sangat berempati dg sakit Anda. Di umur semuda Anda, Anda sdh dibebani penyakit seberat itu. Bedanya dg pendekatan Barat yg membuang segala hal yg berbau negatif (penyakit, kesedihan, penderitaan dan sejenis), dlm pendekatan kesembuhan ala Timur, kesembuhan lebih mungkin terjadi kalau kita memandang dan memperlakukan kehidupan secara holistik. Sederhananya, serupa siang dan malam, mirip cuaca terang dan mendung, keduanya senantiasa ada secara berdampingan, bukan ada sebagai dua hal yg bermusuhan. Ini yg disebut holistik. Belajar dr sini, belajarlah memeluk penyakit Anda, selembut Anda memeluk kesehatan, belajar menyongsong kematian sebagaimana Anda menyongsong kelahiran dulunya. Sebagaimana bunga hari ini yg akan menjadi sampah beberapa hari kemudian, demikian juga dg tubuh kita.

Logika sederhananya, saat penyakit dipeluk, kematian disongsong dikira hidup kita tambah menderita. Pengalaman banyak orang bercerita sebaliknya. Siapa saja yg memeluk penyakitnya (baca: pandang virus penyakit sebagai Ibu yg pernah merawat Anda, sekarang giliran Anda membayar hutang kebaikannya) kemudian merasakan rasa lebih ringan, enteng, bebas. kematian juga serupa, semakin ditakuti semakin berbahaya. Ibarat berjumpa ular di lantai 3, bila seseorang melompat ketakutan, ia mati bukan karena ular, tapi mati kerena ketakutannya yg berlebihan. Berbekalkan ini, Anda boleh melaksanakan meditasi sederhana: “Saat menarik nafas berguman ke dalam, saya menarik nafas bersama rasa sakit. Saat menghembuskan nafas, saya sadar kalau saya sedang sakit”. Intinya dua, saat menarik nafas belajar ‘merawat’ rasa sakit seperti seorang Ibu merawat bayi tunggalnya. Saat mengehembuskan nafas, sadari dan awasi rasa sakit jangan sampai menimbulkan efek berbahaya sebagaimana anak kecil yg melompat ke sana ke mari. Selamat mencoba. Tks

Tidak ada komentar:

Posting Komentar