Dulu, sewaktu masih SD, kami selalu bernyanyi sebelum pelajaran dimulai. Bapak atau Ibu Guru memandu kami. Biasanya dua atau tiga lagu kami nyanyikan. Kami menyanyi dengan suara lantang dan penuh semangat khas anak-anak. Selesai bernyanyi, kami berdoa bersama dipimpin seorang siswa. Setelah itu barulah pelajaran dimulai.
Bernyanyi, mungkin itulah cara paling mujarab untuk mengusir kantuk yang sering masih menghinggapi kami di pagi hari. Bahkan bukan cuma di pagi hari, di sela-sela pelajaran siang pun kami sering diajak bernyanyi, terutama kalau kami mulai terlihat lesu atau jenuh. Tujuannya tidak lain supaya kami lebih bergairah belajar.
Lagu-lagu yang kami nyanyikan terdiri dari lagu-lagu wajib nasional, lagu-lagu Sekolah Minggu, dan lagu-lagu umum untuk anak-anak. Tidak terlalu banyak lagu yang diajarkan pada kami. Mungkin karena Bapak atau Ibu Guru juga tidak tahu banyak lagu. Tapi dari sekian lagu yang sering kami nyanyikan, ada satu lagu yang selalu saya ingat karena termasuk salah satu lagu kesukaan kami kala itu.
Lagunya sangat sederhana. Liriknya pendek sehingga gampang diingat. Lagu itu bercerita tentang petani. Kami sangat meresapi lagu itu. Mungkin karena hampir semua dari kami adalah anak petani. Lagu itu seolah menjadi bagian dari diri kami. Maka tak heran, kami senang sekali menyanyikannya.
Matahari di pagi hari
Di sawah bekerja petani
Bergembira menanam padi
Untuk makanan anak negeri
Masa kecil itu sudah berlalu hampir 20 tahun. Dan sudah belasan tahun saya tak pernah lagi menginjak sawah. Tak pernah lagi bermain lumpur. Tak pernah lagi memegang padi. Tak pernah lagi merasakan terik matahari atau dinginnya hujan di tengah sawah. Ah, saya kangen suasana itu. Saya kangen berada di sawah bersama ayah atau ibu, atau kakak, atau teman-teman, dan yang lain-lain. Saya kangen suasana desaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar