Kadang saya berpikir kalau orang miskin memang tak seharusnya sakit. Memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi jika harus ditambah dengan biaya pengobatan yang mahal. Tentu semuanya menjadi lebih berat. Mungkin itulah sebabnya sebagian orang dengan terpaksa memilih di rawat di rumah saja daripada harus dirawat inap di rumah sakit. Atau memilih berobat secara alternatif saja daripada harus berobat secara medis. Syukur-syukur jika pengobatan alternatif itu berhasil. Jika tidak, rasa sakit terpaksa ditahan hingga mujizat datang atau maut yang menjemput. Tapi mungkin kita tak harus pesimis begini. Kita percaya Tuhan punya rencana indah dalam perjalanan hidup kita. Ya!
Saya jadi teringat pada seorang teman HD, seorang bapak berusia kira-kira 50 tahun. Dia sudah meninggal sekitar dua tahun lalu. Setiap mau HD, dia selalu datang sendirian. Tak ada yang mengantar. Begitu juga saat dia pulang. Dia pulang dengan mengendarai motor sendiri. Diam-diam, saya sering memperhatikan bapak itu makan pada saat HD berjalan. Tahu gak apa yang saya lihat? Yang saya lihat adalah bapak itu selalu makan dengan lauk yang sama. Ikan kecil dengan lebar sekitar 3 cm—yang saya tidak tahu namanya—dicampur dengan sambal yang banyak. Selalu begitu. Tak pernah saya melihatnya memakai lauk yang lain.
Berbeda dengan saya. Saya lebih sering makan dengan lauk yang bervariasi. Kakak saya tinggal membelikan sesuai keinginan saya. Meskipun memang bukan makanan-makanan mahal yang saya pesan. Tapi setidaknya, lauk saya tidak monoton seperti bapak itu. Saya kasihan melihatnya. Dia sering terlihat kurang berselera dengan lauk yang—menurutku—membosankan itu.
Saya memang beruntung. Meskipun saya harus HD dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, tapi Tuhan menolong saya secara luar biasa. Tuhan mempertemukan saya dengan banyak orang yang berhati mulia. Orang-orang yang membantu saya tidak saja secara moriil tapi bahkan juga secara materiil. Kehadiran mereka sungguh telah banyak menolong saya keluar dari kesulitan.
Di antara orang-orang berhati mulia itu, terdapat teman-teman saya. Terutama teman-teman SMA saya. Mereka sering datang ramai-ramai mengunjungi saya di rumah. Tak jarang mereka membawakan saya bingkisan. Tapi tak hanya itu. Mereka juga mengumpulkan dana untuk saya. Dana yang sangat menolong saya untuk membeli obat-obatan dan—bahkan—untuk biaya hidup sehari-hari. Maklum saya tak punya penghasilan.
Mereka sungguh baik. Semua itu diberikan dengan satu garansi: ikhlas. Ya ikhlas tanpa suatu syarat apa pun. Ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasannya. Ikhlas memberi sebagai saudara dan sahabat.
Saya terharu. Meski mereka telah banyak membantu saya, tak sedikit pun mereka memandang rendah saya. Mereka tetap menghargai dan menghormati saya. Penghargaan mereka pada saya, saya rasakan tak sedikit pun berkurang. Di mata mereka, saya bukanlah seseorang yang hanya pantas dikasihani, tapi seorang sahabat yang memang harus dikasihi. Ya, saya yakin itu. Yakin bahwa mereka menolong saya karena mereka mengasihi saya. Mereka mencintai saya.
Dalam hati saya berdoa bagi mereka. Semoga Allah yang Maha Kaya, membalas kebaikan mereka dengan kesehatan, rezeki dan kebahagiaan yang melimpah. Saya juga berdoa dan berharap, semoga kelak saya diberi kesempatan melakukan sesuatu untuk menghargai kebaikan dan cinta mereka. Amin. Terima kasih para sahabat. Terima kasih juga Tuhan karena telah mengirim orang-orang berhati mulia itu pada saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar