Suatu hari seorang sahabat mengirimkan sms dan bercerita tentang hubungan cintanya yang, menurutnya, sedang di ujung tanduk. Padahal mereka telah menjalin hubungan selama bertahun-tahun. Ketika saya tanya penyebabnya apa, dia mengatakan bahwa ini hanya masalah perbedaan keyakinan. Agama yang dianut sahabat saya itu berbeda dengan agama yang dianut pacarnya. Rupanya mereka baru benar-benar menyadari perbedaan itu ketika seiring perjalanan waktu mulai terbersit keinginan untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa sebenarnya ini hanya masalah ego. Masing-masing tidak mau mengalah. Padahal menurutnya, sudah semestinya pria-lah yang menjadi patokan. Dengan kata lain, seorang istri sewajarnyalah mengikuti agama yang dianut suaminya.
********
Namun di balik alasan yang dikatakan sahabat itu, saya membaca ada hal lain yang menjadi pertimbangannya. Dugaan saya masalah perbedaan agama dimaknai sebagai masalah pertaruhan harga diri. Dengan kata lain, seorang pria yang mengikut ke agama wanitanya adalah pria yang harga dirinya rendah. Yang tak punya pendirian. Yang tak punya wibawa. Sebaliknya bila wanita yang mengikut ke agama prianya, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sewajarnya.
Saya punya dua catatan atas curhat sahabat di atas. Pertama, masih saja ada yang memandang rendah terhadap kedudukan wanita, khususnya dalam hal penentuan agama bersama. Hubungan suami-istri kadang masih dimaknai sebagai hubungan atas-bawah (Hahaha…maksud saya superioritas). Suami ditempatkan sebagai pengambil keputusan tunggal, final, dan mengikat. Sementara istri tidak diberi peluang untuk ikut menentukan keputusan bersama. Seolah-olah istri diwajibkan untuk mengikuti apa pun keputusan suami.
Padahal seharusnya hubungan suami-istri itu dipandang sebagai hubungan partnership, yang menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang berimbang. Karena sejatinya, mereka dipersatukan secara lahir dan batin untuk saling melengkapi dan saling mencintai.
Kedua, agama belum dihayati sebagai bagian penting dalam kehidupan seseorang. Agama dipertahankan bukan karena seseorang itu sungguh-sungguh beriman, tapi semata-mata demi gengsi dan ‘apa kata orang’. Toh agama apa pun yang dianutnya belum tentu merubah cara hidup beragamanya. Banyak orang yang mati-matian mempertahankan agar agamanya dijadikan agama bersama, tetapi nyatanya dia sendiri hampir tak pernah menjalankan ajaran agama yang dipertahankannya itu. Ironis, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar