Rabu, 18 Mei 2011

Anak Kecil Itu, Haruskah Kumarahi?

            Ekspresi mukanya seketika berubah merah ketakutan melihat laptopku jatuh ke lantai. Entah apa persisnya yang dia pikirkan, namun aku menduga dia sedang deg-degan menunggu apa yang akan aku lakukan padanya. Rupanya dia sudah pasrah menerima murka besarku sebagai akibat dari tindakannya yang ceroboh itu. Matanya yang mulai berkaca-kaca tak berani lagi menatapku. Dia terlihat sangat gugup. Diam.
            Laptop ini menjadi begitu berharga buatku karena merupakan hadiah dari teman. Belum setahun aku pakai. Belum pernah rusak. Dan juga belum pernah jatuh. Tapi hari itu anak kecil itu menjadi orang pertama yang menjatuhkannya ke lantai.
            Haruskah aku marah pada anak kecil itu? Haruskah aku membentak dan memakinya? Tidakkah anak itu layak diberi pelajaran atas kecerobohannya? Oh tidak! Suara hati kecilku berkata tidak! Aku sadar itu bukan kesengajaan. Itu hanya kebetulan. Dia tidak menduga kalau ayunan tangannya akan menyambar monitor hingga menjatuhkannya ke lantai.


            Bagiku ekspresi wajahnya yang ketakutan itu telah cukup mewakili rasa bersalah dan penyesalannya. Dia tahu laptopku bisa saja rusak gara-gara jatuh ke lantai. Dan kalau sampai benar-benar rusak, mungkin dia berpikir aku pasti akan menuntut ganti rugi. Tapi aku bersyukur karena Tuhan memberiku hati yang lapang.
            Tanpa berkata apa-apa, kuangkat laptop dari lantai. Terlihat monitornya blank, maka segera kumatikan. Beberapa saat aku diamkan, lalu kuhidupkan kembali. Puji Tuhan dia dapat menyala kembali dengan baik. Aku menarik nafas lega.
            Aku melirik ke anak kecil itu. Dia masih berdiri di situ dengan gugup. Dia ikut menarik nafas panjang melihat laptopku bisa menyala kembali. Aku tak berkata apa-apa. Aku berusaha bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. Hati kecilku mencoba menempatkan diriku pada posisi anak kecil itu.
            Tidakkah aku juga pernah kecil? Yang sering berbuat ceroboh dan merugikan orang lain? Aku menyadari, pada posisi itu, satu-satunya yang diharapkan adalah agar semua baik-baik saja. Setidaknya tidak mendapat marah atau makian. Atas kesadaran itu, aku tak ingin menambah rasa bersalah, rasa gugup, dan rasa takutnya. Lewat sorot matanya yang polos, bisa kurasakan mengalir sebuah permintaan maaf yang tak terkira.
            Setelah beberapa lama menunggu dan ternyata murka yang ditunggunya ternyata tidak keluar dari mulutku, dia pun pergi dengan mata berbinar. Aku membiarkannya saja!
*************
            Sadar atau tidak, kita ini kadang terlalu mudah bereaksi secara emosional. Kesabaran dan kelapangan hati kita dengan gampangnya ditutupi oleh kemarahan yang tiba-tiba muncul. Kita tak mampu mengendalikan diri. Seolah-olah kemarahan adalah konsekuensi logis dari sebuah kesalahan. Seolah-olah kemarahan adalah imbalan yang pantas bagi siapa pun yang merugikan kita. Dan seolah-olah kemarahan adalah sarana untuk memulihkan keadaan. Nyatanya tidak! Seandainya laptopku rusak karena terjatuh tadi, dapatkah ia seketika berubah baik karena aku marah? Kupikir tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar