Siang itu, Senin, 23 Mei 2011. Aku menjalani HD seperti biasa. Sekitar setengah jam berjalan, pintu HD terdengar berderak. Aku menoleh ke arah pintu.
Seorang gadis berkudung hitam didorong masuk di atas kursi roda. Dia mendekat menuju tempat tidur yang berhadapan denganku. Wajahnya makin jelas terlihat. Lesu. Aku merinding melihatnya. Merinding penuh haru.
Aku terharu. Dan aku seakan tak percaya. Dia akan HD juga? Gadis semuda itu? Ah aku tak percaya. Wajahnya begitu polos, begitu lugu. Matanya bening, menatap dengan lembut. Siapa yang tega menyerahkannya ke ranjang HD ini? Hmm..solusi terakhir, kata dokter.
Aku belum pernah seterharu ini. Mungkin karena ini adalah kali pertama ada pasien yang jauh lebih muda dariku. Mungkin juga karena dulu aku persis semuda dia saat pertama di-HD. Ingin rasanya aku bangkit lalu berlari memeluknya. Ingin rasanya aku menggenggam tangannya erat dan membisikkan dengan lembut, “Aku sayang kamu, adikku. Kamu harus tegar. Setegar bahkan lebih tegar dari aku”. Tapi aku bukan siapa-siapa. Hanya sesama pasien. Biar kudoakan saja.
Segera dia dibaringkan di atas tempat tidur. Dia tampak pasrah. Ada setitik air terlihat di sudut matanya. Sesekali dia melirik memperhatikan bagaimana aku menjalani HD. Ya dia tahu, seperti itulah dia juga akan diperlakukan.
Saat mata kami bertemu, aku tersenyum. Lewat senyum itu ingin kusampaikan, “Adikku, kamu yang sabar ya. Kamu tak sendiri kok. Ada aku dan ada sekian banyak orang lain yang merasakan sakit yang sama. Tak usah terlalu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Kita akan melaluinya bersama. Tetap tegar, adikku!”
Ini adalah HD pertamanya. Aku berharap, mudah-mudahan dia hanya mengalami penyakit ginjal akut. Dengan begitu, dia tak harus menjalani HD seumur hidup. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar