Senin, 13 Juni 2011

Bayang-bayang Kematian

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, kata Chairil Anwar.
 Apa yang dikatakan Chairil Anwar tersebut bisa jadi adalah gambaran keinginan kebanyakan orang —kalau enggan mengatakan semua— yang mendambakan keabadian hidup di dunia ini. Umumnya manusia takut, atau setidaknya merasa enggan, untuk mati. Bahkan meskipun hidupnya di dunia lebih sering diwarna kesulitan daripada kegembiraan.
Mengapa manusia takut atau enggan mati? Ada beberapa alasan yang bisa diberikan. Bisa jadi ketakutan itu disebabkan oleh adanya misteri di balik kematian itu. Tidak ada yang tahu apa persisnya yang akan terjadi setelah seseorang mati. Atau bisa jadi ketakutan itu disebabkan oleh keengganan untuk berpisah dengan keluarga atau orang-orang yang ia kasihi. Atau bisa jadi ketakutan itu disebabkan oleh ketidakrelaan untuk meninggalkan kenikmatan dunia yang selama ini ia rasakan; mungkin jabatan, kekayaan, kehormatan, dsb. Atau bisa jadi pula keengganan itu disebabkan oleh belum tercapainya sesuatu yang dicita-citakan dalam hidup. Seseorang yang hidupnya selalu dirundung kesedihan, sangat merindukan datangnya saat-saat berbahagia di masa depan (seolah-olah) sebagai kompensasi bagi kesusahannya selama ini.
Katakutan atau keengganan untuk mati itu membuat manusia berusaha keras untuk menghindari atau sekadar menundanya. Ketika sakit, seseorang berusaha untuk berobat meskipun dengan biaya yang mahal. Ketika ada bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seseorang akan berusaha mengelak atau melawan untuk mempertahankan diri. Semua itu dilakukan karena manusia menyadari bahwa sakit penyakit dan kecelakaan adalah jembatan terdekat menuju maut.


Akan tetapi sekuat apa pun manusia menolak atau menghindarinya, kematian tetaplah sebuah keniscayaan. Cepat atau lambat, setiap orang pasti mengalaminya. Ketika maut datang menjemput, tak seorang pun mampu berkata tidak.
Kesadaran akan kepastian datangnya kematian itu membuat sebagian orang memilih untuk melupakan dan tidak mau memikirkannya. Sesuatu yang sudah pasti tidak perlu lagi dipikirkan. Dipikir atau tidak dipikir, toh akhirnya akan datang juga. Lupakan soal kematian, pikirkan dan kerjakan saja apa yang di depan mata.
Namun bagi yang tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang kematian, mereka memiliki dua pandangan yang berbeda. Sebagian orang memandang kematian sebagai sebuah tragedi yang mengantar kepada kepunahan. Bagi mereka, kematian adalah akhir dari segala-galanya. Tidak ada kehidupan setelah mati. Pandangan ini membuat orang memilih jalan hedonistis, yaitu memuja kenikmatan duniawi, dengan semboyan ‘mumpung masih hidup’.
Sebagian orang lagi berpandangan sebaliknya dan meyakini bahwa kematian adalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang kekal. Mereka lalu dibayang-bayangi oleh perhitungan akhir tentang surga dan neraka. Yang jahat akan masuk neraka yang penuh penderitaan sedangkan yang baik akan masuk surga yang penuh kebahagiaan. Pandangan ini membuat orang memilih jalan spiritual dan menjauhi tawaran kenikmatan duniawi.
------------------------
Apakah Anda takut mati? Tidak usah memberi jawaban spekulatif seolah-olah Anda sangat beriman. Saya yakin di kedalaman hati Anda, Anda pasti belum siap mati sekarang dan di sini. Anda akan membayangkan keluarga, teman-teman, pekerjaan, kekayaan, harapan yang belum tercapai, dan berbagai kenikmatan duniawi yang rasanya berat dan tak rela untuk ditinggalkan.
Kalaupun Anda tidak takut mati, pastilah Anda punya keinginan tentang kapan dan bagaimana Anda akan mati. Mungkin Anda siap mati sekarang, tapi tidak di sini. Atu sebaliknya, Anda siap mati di sini tapi tidak sekarang. Saya pun begitu! Karena takut cepat mati di usia muda, saya memilih untuk menjalani HD.
Tapi sekarang apa yang harus kita lakukan dengan rasa takut itu? Menurut saya, kita terima saja ketakutan itu. Biarkan ketakutan itu membawa kita pada pergumulan tentang hakekat hidup yang sebenarnya. Biarkan ketakutan  itu menjadi peng-ingat bagi kita bahwa hidup kita di dunia ini tidaklah abadi. Bahwa kematian akan mengantar kita ke pintu neraka atau surga. Maka banyak-banyaklah berdoa dan berbuat baik sebagai investasi bagi kehidupan di akhirat. Takutlah mati dalam keadaan penuh dosa.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata Komaruddin Hidayat:
“ Karena sudah pasti datangnya, maka sikap terbaik adalah bersiap menyambutnya, sebagaimana kita punya pengalaman bersiap-siap dan bahkan menunggu datangnya hari wisuda, hari ulang tahun, hari lebaran, hari pernikahan, atau peristiwa lain yang kita yakini pasti, padahal tingkat kepastiannya tidak sebanding dengan kepastian datangnya peristiwa kematian”.


Sumber:
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar