Saya masih ingat ketika pertama kali dia masuk ruangan HD didorong oleh suaminya di atas kursi roda. Wajahnya pucat dan badannya lemas. Beberapa orang keluarganya ikut mengantarnya masuk, termasuk seorang putrinya berusia kira-kira 3 tahun.
Dia masih cukup muda. Baru berusia 24 tahun saat itu. Kulitnya sawo matang. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Cuma di bagian kaki terlihat ada pembengkakan akibat penumpukan cairan dalam tubuh.
Dia kemudian dibaringkan di atas tempat tidur. Nafasnya sesak sehingga harus dibantu dengan tabung oksigen. Dia sangat kesulitan mengatur nafasnya, membuatnya terlihat seakan mau menangis.
Hari itu adalah hari pertama dia menjalani HD. Dia meringis menahan rasa sakit yang luar biasa ketika perawat mulai menusukkan vistula (jarum HD) di lengan kirinya, dan dilanjutkan pada pembuluh femoralis tepat di lipatan pahanya. Bagaimana tidak, jarum yang digunakan jauh lebih besar dari ukuran jarum suntik biasa. Belum lagi jika sulit menemukan pembuluh darahnya maka akan dilakukan tusukan berulang-ulang sampai berhasil. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya ditusuk jarum besar itu.
Sejak hari itu, dia mulai menjalani HD rutin tiga kali seminggu, masing-masing selama empat jam.
*********
Kini setelah dua tahun berlalu, ada banyak hal yang tampak sudah berbeda dari sebelumnya. Dia sekarang tampak sangat kurus. Kulitnya tampak lebih hitam. Dan perubahan yang paling menonjol adalah perutnya terlihat buncit. Beberapa mahasiswa yang praktek di rumah sakit mengira dia hamil, padahal tidak. Perut buncit hanya salah satu komplikasi dari penyakit ginjal kronik. Secara fisik dia benar-benar tampak berbeda dari dua tahun yang lalu.
Syukurlah perubahan fisik itu tak pernah merubah cinta, perhatian dan kasih sayang dari keluarga dan orang-orang yang selama ini mencintainya. Suaminya, seorang PNS golongan rendah, dengan sabar dan setia mengantar dan menjemputnya di rumah sakit, tiga kali seminggu. Jika kondisinya agak drop, sang suami akan meninggalkan tugas kantornya dan menjaga sang istri di rumah sakit. Bahkan putri mereka yang masih kecil itu seakan bisa memahami kondisi ibunya. Dia anak yang baik, tidak rewel dan tidak menyusahkan ibunya. Sering dia ikut ibunya ke rumah sakit dan menunggu sampai HD selesai sambil bermain bersama perawat. Untunglah anak itu anak yang periang.
Sang suami yang setia itu telah membuktikan arti cinta sejati. Cinta yang tidak mabuk dengan kata-kata pujian dan belaian nafsu. Cinta yang tak perlu menyebutkan ratusan bahkan ribuan alasan. Cinta adalah cinta…yang selalu ada untuk selamanya…bahkan ketika yang dicinta tak lagi cantik seperti dulu. Dia cinta yang menghidupkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar