Kamis, 11 November 2010

Hal Sederhana yang Bermakna

Iman saya sering terasa begitu rapuh. Bayangan akan kematian serangkali begitu menakutkan. Menakutkan karena merasa diri belum siap dan menakutkan karena kematian itu sendiri masih diselimuti banyak misteri. Satu hal yang sepenuhnya saya dan semua orang sadari adalah bahwa dia pasti datang. Entah kapan.
Suatu waktu saya mengirim pesan singkat (sms) kepada seorang teman. Saya menulis, “Kematian adalah sebuah kepastian. Kita semua tahu bahwa ini hanyalah masalah waktu. Dan ‘waktu’ itu selamanya menjadi misteri bagi manusia. Namun seandainya kamu tahu bahwa ‘waktu’ itu tidak akan lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?”.
Agak lama saya menunggu barulah datang balasan darinya. Katanya, “Menyadari bahwa kita ada yang punya dan dapat diambil sewaktu-waktu, menghargai waktu dengan kegiatan positif, tentu saja juga ibadah, menatap matahari pagi dan senja sore dengan rasa bersyukur”.

Isi sms balasan tersebut sudah bisa saya duga, kecuali bagian akhirnya tentang “menatap matahari pagi dan senja sore dengan rasa bersykur”. Saya tersenyum membaca bagian akhir ini. Sangat sederhana, betul-betul sangat sederhana. Tak menguras tenaga apalagi biaya. Siapa pun dapat melakukannya, tak terkecuali orang yang sedang sakit.

Di balik saran yang begitu sederhana dari teman saya itu, ada satu kata kunci yang sangat penting, yakni bersyukur. Bersyukur atas segala nikmat yang kita terima dari Yang Empunya Hidup. Bersyukur atas hal-hal yang terlihat sederhana dan menikmatinya sebagai berkat dariNya. Bersyukur karena masih bisa merasakan hangatnya mentari pagi, dan bersyukur masih bisa menikmati tenggelamnya sang surya di sore hari.
Teman saya telah mengingatkan satu hal bahwa hal-hal sederhana dapat dijadikan bagian penting dalam mengisi kehidupan ini. Dengan begitu kita tak perlu bingung menanyakan apa yang harus kita lakukan. Banyak hal dapat kita lakukan, bahkan tanpa aktivitas fisik yang menguras tenaga, seperti berdoa dan bersyukur. Bersyukur atas apa yang sudah kita punya saat ini, dan tidak mengeluh atas apa yang tidak atau belum kita raih.
Jika kita mengikuti hasrat duniawi kita, bersyukur akan menjadi sesuatu yang sulit. Hasrat duniawi selalu membawa pada rasa tidak puas, rasa tidak cukup, dan rasa serba kekurangan. Akibatnya segala tenaga, pikiran, dan waktu kita habis terkuras hanya untuk mengejar ambisi duniawi sehingga lupa untuk berdoa dan bersyukur.
Hal serupa seringpula saya alami. Saya banyak mengeluh atas keadaan saya saat ini. Rasa kecil dan minder tak jarang menghinggapi saya ketika teman-teman lama bertanya, “Kerja dimana sekarang?”. Saya minder mendapati diriku sebagai seorang pengangguran terdidik. Saya malu mendapati diriku hidup hanya bergantung pada keluarga dan santunan para sahabat. Kapan saya benar-benar bisa mandiri?
Kenyataan bahwa penyakit yang kini saya alami tidak atau belum ada obatnya, seakan menghadirkan bayang-bayang kematian begitu nyata. Waktu yang terus berjalan seakan mengantarkan saya semakin dekat ke pintu kubur. Saya pun gentar! Di usia yang terasa masih sangat muda, saya harus kembali padaNya? Oh tidak! Saya belum siap. Kalau boleh memilih, saya tak kan kembali padaNya dalam keadaan sakit seperti ini.
Namun bagaimanapun hati kecil saya menyadari dan percaya bahwa segalanya sudah diatur oleh Tuhan, termasuk sehat dan sakit, serta hidup dan mati. Hanya saja, saya sering gelisah bila meninggalkan dunia ini tanpa berbuat apa-apa. Saya ingin seperti teman-teman yang lain: bekerja, mandiri, membantu kebutuhan orang tua dan saudara-saudara yang kekurangan, berguna bagi orang-orang di sekitarku, melayani di rumah Tuhan, dst. Tetapi ketika penyakit ini datang, rasanya semua cita-cita, semua harapan itu kian menjauh. Saya menjadi takut bila kisah kehidupan yang selama ini kulalui akan berakhir tragis di atas tempat tidur rumah sakit.
Segala kekhawatiran dan ketakutan itu benar-benar mengacaukan pikiran saya. Ketika mendengar kabar ada teman HD yang berpulang, saya langsung berpikir bahwa saya pun akan segera menyusul. Saya panik dan mulai bertanya apa yang harus saya lakukan di penghujung usia ini. Cita-cita dan mimpi-mimpi besar saya seakan berkata bahwa saya telah gagal. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain menunggu “kemah” ini dibongkar. Saya pun sedih dan merasa hidup ini kian menyakitkan.
Syukurlah Tuhan menyadarkan saya lewat sms dari seorang teman. Bahwa hidup ini tak harus diisi dengan hal-hal rumit yang tidak dapat kita lakukan, tetapi dapat diisi dengan hal-hal sederhana yang mendatangkan rasa syukur yang besar. Jalani dan syukuri apa yang sekarang ada di depan mata. Bangunlah pagi-pagi dan nikmatilah terbitnya matahari pagi. Lalu sore hari, nikmatilah secangkir kopi di balik tenggelamnya sang surya. Maha Besar Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar