Maaf jika saya sedikit berlebihan menyebut negeri ini sebagai negeri para pemarah. Bukan berarti saya ingin merendahkan martabat negeri ini. Sama sekali tidak. Karena bagaimana pun negeri ini adalah negeri saya. Namun izinkan saya mengungkapkan sedikit kegelisahan dan kegundahan hati saya menyaksikan tontonan perilaku sesama anak negeri ini.
Dahulu kala, ketika saya masih duduk di bangku SD, saya selalu bangga bila ibu guru atau bapak guru menceritakan hal-hal yang membuat negeri ini dikenal dan dikagumi bangsa lain. Salah satu ciri yang selalu ditonjolkan adalah karakter warganya yang sopan, ramah, dan terbuka. Katanya itulah salah satu daya tarik bagi turis asing untuk berkunjung ke negeri ini. Para turis asing itu tak hanya disambut dengan hangat tapi bahkan disanjung-sanjung sebagai tamu terhormat.
Selain itu warga negeri ini juga dikenal hidup sangat rukun dan suka menolong. Musyawarah untuk mufakat adalah semboyan hidup yang menghiasi pergaulan sehari-hari. Ketika terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat, mereka akan duduk bersama dihadapan pemuka adat atau pemuka agama untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Semua diselesaikan dengan kepala dingin.
Kini, beberapa dekade sesudahnya, kita dihadapkan pada kenyataan yang begitu berbeda. Warga negeri ini tak lagi se-sopan yang dulu, tak lagi se-ramah yang dulu, dan yang paling mengkhawatirkan adalah warga negeri tak lagi se-rukun yang dulu. Bagi yang punya kepekaan sosial yang tinggi tentulah miris menyaksikan kenyataan ini.
Apa yang kita sebut sebagai “berita” saat ini sebagian besar diisi oleh tema kekerasan. Media kita tiada henti dihiasi oleh tayangan demonstrasi yang anarkis, kekerasan dalam rumah tangga, tawuran massa, hingga perang antar suku/etnis. Warga negeri ini semakin sulit mengendalikan diri. Sebaliknya warga negeri ini semakin gampang marah dan bereaksi secara emosional. Warga negeri ini seringkali lupa bahwa negeri ini berdasarkan hukum. Banyak masalah kemudian diselesaikan lewat peradilan jalanan dan berakhir dengan upaya main hakim sendiri.
Di sisi yang lain, mahasiswa dan para politikus serta para terpelajar, sibuk mengkritik kebijakan pemerintah. Kritik yang membangun sungguh patutlah kita beri apresiasi yang tinggi. Karena dengan kritik-kritik itulah kebijakan pemerintah dapat diarahkan pada jalur yang benar. Namun kadangkala cara-cara yang digunakan untuk menyalurkan kritik itu, patut kita sayangkan. Tak jarang kritik yang disampaikan para terpelajar itu justu menyulut emosi massa hingga berujung pada pertikaian berdarah.
Para terpelajar kita, saking semangatnya memperjuangkan warga miskin dan saking gemasnya dengan aparat pemerintah, mulai kehabisan kata-kata yang sopan, yang santun, yang etis. Maka apa yang terjadi adalah munculnya kritik-kritik yang tak hanya tajam dan pedas tetapi bahkan sering merendahkan harkat dan martabat seseorang sebagai manusia. Cacian, makian, bahkan kata-kata kasar dan kotor tak jarang terdengar dari para demonstran.
Mungkin inilah salah satu efek samping dari demokrasi yang kita agung-agungkan belakangan ini. Atas nama demokrasi setiap orang tampil ke depan menyuarakan dan mempertahankan pendapatnya. Dan atas nama demokrasi itu pula, setiap warga merasa berhak melakukan segalanya. Warga tak lagi segan pada aparat keamanan bahkan berani melawan bila diberi upaya paksa.
Saya masih bertanya-tanya mengapa warga negeri tak lagi se-sopan, se-ramah, dan se-rukun yang dulu? Mengapa terjadi kemerosotan moral yang begitu drastis? Apakah karena ada pengaruh dari luar? Atau karena kurangnya keteladanan dari para pemimpin negeri ini? Atau lebih karena kurangnya tuntunan agama dari para ulama? Atau?
Entahlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar