Sabtu, 27 November 2010

minta maaf lah !

            Dalam perjalanan pulang, suatu sore, saya mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari perempatan lampu merah. Setelah mendekat tampaklah dua orang bapak-bapak sedang bersitegang. Rupanya mobil mereka baru saja bersenggolan sehingga salah satu mobil tergores di sisi kanan. Tak ada yang mau mengalah. Keduanya saling menyalahkan. Maka segeralah terdengar saling menuding dengan suara keras.
            Kapan pertengkaran mereka akan berakhir? Entahlah! Ketika saya naik angkot untuk pergi, belum terlihat tanda-tanda tercapainya kesepakatan. Keduanya masih mempertahankan posisi masing-masing.
            Ada pengalaman lain. Di suatu siang, angkot yang saya tumpangi melaju kencang mencoba menyalib mobil lain yang ada di depan. Pada saat yang sama sebuah sepeda motor buru-buru memutar arah dari arah berlawanan. Akibatnya angkot yang saya tumpangi menyerempet motor tersebut hingga jatuh ke aspal. Syukurlah pengendaranya, seorang bapak setengah baya, tidak mengalami cidera. Sementara angkot yang saya tumpangi terlepas kaca spionnya dan pecah.

            Lalu apa yang dilakukan pengendara motor dan sopir angkot? Apakah mereka bertengkar dan saling memaki?
            Ternyata tidak! Dugaan saya meleset. Sopir angkot menepikan mobilnya lalu turun mengambil spionnya yang jatuh. Sementara pengendara motor yang jatuh langsung bangkit dan mengangkat sendiri motornya. Segera pengendara motor menghampiri sopir angkot, lalu dengan mimik menyesal dia meminta maaf kepada sopir angkot. Dia mengaku salah karena terburu-buru memutar arah. Sopir angkot juga minta maaf karena kurang hati-hati dan melaju terlalu kencang. Keduanya lalu bersalaman, tersenyum, dan segera berpisah. Tak butuh waktu lima menit bagi mereka untuk berdamai.
            Saya sendiri, beberapa tahun yang lalu, pernah diserempet mobil ketika mau menyeberang jalan. Waktu itu saya naik motor. Pada saat sudah di tengah jalan raya, tiba-tiba sebuah mobil yang hendak berbelok ke pom bensin di sebelah kanan jalan, menyerempet dengan keras bagian belakang motor saya. Saya pun jatuh tapi syukur tidak ada cidera apa-apa. Motor saya hanya sedikit tergores.
            Saya segera mengangkat motor saya lalu menghampiri mobil tersebut yang sudah berhenti di depan pom bensin. Sopir dan beberapa orang di atasnya langsung turun menemui saya. Mereka bergantian meminta maaf sambil menanyakan keadaan saya. Sang sopir terlihat sangat menyesal dan mengakui kesalahannya. Saya terenyuh dengan sikap mereka sehingga tak lagi mempermasalahkan peristiwa itu. Akhirnya kami bersalaman lalu masing-masing pergi dengan perasaan lega.
*******
            Mengaku salah dan meminta maaf, bagi sebagian orang menjadi persoalan yang tidak gampang. Hal tersebut dipandang seolah-olah sebagai tindakan yang merendahkan martabat dan menurunkan reputasi. Seolah-olah tindakan meminta maaf menempatkan sesorang pada posisi yang lemah, sebagai pihak yang salah, yang kepadanya pantas dituntut pertanggungjawaban. Maka tidak heran, sebagian orang akan mati-matian mempertahankan posisinya sebagai pihak yang benar, meskipun terang-terangan dia yang salah. Sebaliknya dia berusaha menutupi kesalahannya justru dengan melimpahkan kesalahan pada orang lain.
            Sikap merasa paling benar dan tak mau mengalah inilah yang menjadi awal dari konflik berkepanjangan. Setiap benturan kepentingan atau sekedar persinggungan kecil diperlakukan seolah-olah sebuah kompetisi yang harus dimenangkan. Kemenangan yang seolah-olah menjadi bukti betapa seseorang patut diperhitungkan dan tak boleh disepelehkan. Kemenangan yang seolah-olah memberinya pengakuan dan rasa hormat sebagai seseorang yang bermartabat dan taat aturan. Padahal kemenangan yang dipaksakan itu tak lebih dari kemenangan semu yang justru merendahkan dirinya sendiri.
            Sekedar mengalah sesungguhnya mampu mendinginkan suasana yang panas. Dengan begitu tidak perlu ada kompetesi gengsi yang harus dimenangkan. Sikap sportif untuk berani mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf menjadi sesuatu yang sangat penting. Setidaknya sikap tersebut mampu menghilangkan perdebatan yang panjang tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Bahkan sikap seperti inilah yang mampu mengakhiri konflik dengan segera.
            Bagi saya sendiri, permintaan maaf yang tulus jauh lebih mengesankan daripada bentuk ganti rugi manapun.  Ada perasaan lega yang tidak tergambarkan ketika seseorang mengaku salah dan menyesali perbuatannya. Apalah gunanya bila seseorang membayar suatu harga tapi tak pernah ikhlas dan justru merasa terpaksa. Itu hanya bentuk kemenangan semu. Kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika masing-masing pihak berdiri pada posisi yang tepat, benar jika benar dan salah jika salah, lalu mengakhiri konflik dengan perasaan damai dan bersahabat. Maka sportif lah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar