Sabtu, 13 November 2010

Mengejar Akhirat

“Kita ini, sekarang tinggal berusaha mengejar hidup akhirat. Kalau mau mengejar kehidupan dunia, kita sudah tak mampu”. Begitulah kata Pak Agil, seorang bapak berusia sekitar lima puluh tahun, yang juga menjalani cuci darah bersama saya.
Perkataan itu membuat saya merenung. Sepertinya ada kebenaran di dalamnya. Kebenaran bahwa pasien cuci darah seperti kami tak perlulah punya mimpi yang muluk-muluk. Tak perlulah terlalu risau memikirkan bagaimana kehidupan hari esok di dunia fana ini. Toh visa kunjungan di dunia ini sebentar lagi akan berakhir dan tak bisa diperpanjang. Karena itu kami mesti pasrah saja menjalani semuanya. Mungkin inilah suratan takdir dari Yang Ilahi.
Batin saya mencekam merenungkan semuanya itu. Saya takut membayangkan perjalanan saya di dunia ini akan berakhir begitu tragis dan dramatis. Saya masih sangat muda, pikirku. Saya sedih. Dalam hati saya mulai menangisi diriku sendiri sebagai makhluk yang malang. Sedikit demi sedikit nyali kehidupan saya mulai menciut. Rasanya garis akhir perjalanan ini makin dekat saja.

Namun syukurlah, rupanya Tuhan melihat kegelisahan saya. Melalui keluarga, melalui sahabat, dan melalui peristiwa-peristiwa yang saya lalui Tuhan mengingatkan saya untuk membuang semua kekhawatiran itu. Seorang sahabat selalu mengingatkan saya bahwa Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia sanggup melakukan segala hal yang menurut kita tak mungkin. Dan pasti Dia juga mampu menyembuhkan segala penyakit yang belum ditemukan obatnya. Bagi-Nya mujizat adalah hal yang mudah, asalkan kita sungguh pasrah dan berserah pada-Nya, serta didukung oleh ikhtiar yang serius dan tulus.
Memang vonis dokter seringkali menjadi racun tambahan bagi pasien di samping penyakit yang sebenarnya. Vonis dokter kadang terdengar begitu mengerikan terutama bagi pasien-pasien penderita penyakit kronis. Vonis bahwa penyakit pasien tidak dapat disembuhkan atau bahwa usia pasien tidak akan lama lagi, akan menjadi beban pikiran baru bagi pasien dan keluarganya. Mungkin saja reaksi setiap orang berbeda, tetapi bagi sebagian orang vonis seperti itu menjadi sesuatu yang menakutkan. Sang pasien lalu putus harapan dan hari-harinya dilalui tanpa gairah, tanpa semangat karena membayangkan bahwa maut sudah di ambang pintu.
Memang disayangkan bahwa seringkali vonis dokter tidak dibarengi dengan kata-kata penguatan dan penghiburan. Dokter kadang lupa mengingatkan pasien bahwa Tuhan adalah sumber kesembuhan yang tak terbatas. Bahwa pasien, apapun penyakitnya, dapat sembuh dengan izin Tuhan. Oleh karena itu, pasien harus banyak berdoa dan berserah pada Tuhan. Saya pikir, dengan pendekatan seperti ini, pasien akan merasa tertopang dan semangat hidupnya bisa bangkit kembali. Pasien tidak lagi larut dalam bayangan hitam penyakitnya tetapi mulai meyakini secercah harapan di hari esok bersama Tuhan.
Hidup dan mati, sehat dan sakit, untung dan malang, ada dalam tangan Tuhan. Kematian adalah sebuah misteri, hanya Tuhan yang tahu saat, tempat, dan bagaimana semua akan terjadi. Orang yang terlihat sehat hari ini, belum tentu juga sehat esok hari. Sebaliknya orang yang divonis dokter tinggal satu bulan lagi akan hidup, belum tentu benar-benar meninggal satu bulan kemudian. Jika demikian, kenapa saya harus merisaukan sesuatu yang berada di luar penalaran logika dan kendali saya? Kenapa saya harus menangisi penyakit yang kini mampir padaku dan mengkhawatirkan masa depan saya? Tidakkah Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Dia tidak mungkin memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya. Dan satu harapan yang terpenting, mungkin saja BESOK PAGI Tuhan sudah menyembuhkan saya. Amin J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar