Menjadi tua memang bukan pilihan. Suka atau tidak, setiap insan yang berumur panjang pastilah pada akhirnya menjadi tua. Dengan memahami dan menyadari hal ini, kita mestinya bisa bersikap lebih bijak dalam memperlakukan orangtua khususnya yang sudah berusia lanjut.
Tidak semua orangtua hidup beruntung di masa tuanya. Bayangan masa kecil saya mengingatkan saya pada seorang nenek tua penjual sirih di pasar dekat rumah. Dia tak sekedar tua tapi benar-benar sudah renta. Badannya bungkuk dan jalannya tertatih-tatih. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tapi dalam kondisi seperti itulah dia berjuang untuk menyambung hidupnya sebagai penjual sirih. Pinang yang ada di karung kecil, daun sirih dan gambir di tas plastik sering diseretnya sendiri naik dan turun angkot. Beruntung kalau ada yang berbaik hati membantu mengangkatkannya.
Saya berpikir mungkin si nenek tua itu tidak punya anak. Seandainya dia punya anak pastilah sang anak akan membantunya, atau bahkan dia tak harus melakukan pekerjaan itu. Dan seandainya dia punya anak, anaknya pasti tidak akan membiarkan dia mengangkat yang berat-berat. Si nenek tua akan tinggal di rumah, duduk santai, bermain sama cucu, dan tak perlu khawatir akan urusan makan minum. Ya, itu seandainya dia punya anak. Tapi mungkin dia tak punya, pikir saya. Karena itu bisa dipahami bila dia terpaksa berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. (Kita patut prihatin bahwa ada banyak orang tua yang bernasib seperti ini).
Lain lagi kisah seorang nenek tua yang diberitakan melalui televisi beberapa waktu yang lalu. Si nenek tua ini tak tanggung-tanggung diasingkan ke dalam bekas kandang kambing oleh anak kandungnya sendiri. Alasannya sederhana. Si nenek tua dianggap merepotkan. Mungkin karena saking tuanya, kelakuan sang nenek mulai seperti anak-anak. Tanpa sadar dia kadang membuang kotorannya di dalam rumah. Selain merepotkan, rupanya kelakukan si nenek tua juga membuat sang anak merasa malu bila ada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Karena alasan itulah si nenek tua terpaksa dikurung di bekas kandang kambing.
Saya lalu merenung. Ternyata orangtua yang punya anak pun belum tentu terjamin hidupnya di hari tua. Bukan karena sang anak tidak mampu memenuhi kebutuhan makan-minumnya tapi karena sang anak tak lagi peduli, tak lagi memberi perhatian, bahkan merasa direpotkan. Sang anak mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terlalu sibuk dengan keluarganya, terlalu sibuk dengan organisasi dan pelayanan sehingga tak ada waktu untuk mengurusi orangtua. Orangtua yang sudah pikun dan mulai sakit-sakitan dianggap sebagai sebuah penghalang bagi perkembangan karir sang anak sehingga pantas “diasingkan”.
Masa tua memang menjadi masa-masa sulit. Banyak hal yang tak dapat lagi dilakukan. Badan sudah tidak kuat, penglihatan sudah kabur, dan ingatan sudah tidak normal. Jangankan untuk melakukan pekerjaan rumah, untuk mengurus diri sendiri saja seperti makan dan mandi sering terasa sulit. Maka dalam kondisi demikian, kehadiran keluarga untuk menolong menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Namun bila keluarga sendiri, khususnya sang anak tak mau peduli bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Sungguh miris menyaksikan bila ada anak yang tak peduli atau tak mau direpotkan orangtuanya di masa senjanya. Padahal itulah kesempatan untuk membalas sebagian dari kebaikannya selama ini. Mungkin kita lupa, bahwa dulu kita sendiri pernah menjadi makhluk yang sangat merepotkan. Kita semua pernah menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, lalu menjadi remaja. Itulah saat-saat yang paling merepotkan bagi orangtua kita.
Bayangkanlah bagaimana dulu orangtua menggendong kita kesana kemari, bagaimana mereka membersihkan kita setelah buang air, bagaimana mereka menyiapkan makanan dan menyuapi kita, bagaimana mereka merawat kita ketika sakit, dan bagaimana mereka mencukupi segala kebutuhan kita. Atau setidaknya, pikirkanlah bagaimana ibu bertaruh nyawa untuk melahirkan kita ke dunia ini.
Karena itu, ketika saat ini orangtua kita telah uzur dan atau mulai sakit-sakitan sehingga tak mampu lagi mengurus dirinya sendiri, tidakkah ini menjadi kesempatan baik bagi kita untuk membalas segala cinta dan kebaikan hatinya selama ini?
Jika pun kita tak lagi peduli pada jasa-jasa orangtua kita selama ini, ada satu hal yang perlu kita ingat, yaitu bahwa di masa depan nanti kita pun akan menjadi orangtua yang secara fisik lemah dan membutuhkan bantuan orang lain. Entah karena faktor usia yang sudah lanjut, atau karena suatu penyakit. Bersyukurlah kalau pada saat itu kita punya anak dan istri yang mau mengurus kita. Tapi bagaimana bila sang istri sudah tiada sedangkan anak-anak kita tak mau peduli? Bayangkanlah bagaimana mengurus diri sendiri dan mencukupi segala kebutuhan hidup dalam kondisi sakit-sakitan, atau ketika ketika kita sudah renta. Tentulah berat!
Maka ketika orangtua kita masih ada, mestinya ini menjadi kesempatan baik untuk memberi teladan pada anak-anak kita agar menjadi orang yang hormat, peduli dan sayang pada orangtuanya. Tunjukkanlah bagaimana besarnya perhatian kita pada orangtua. Semua dilakukan dengan ikhlas dan penuh cinta, seberapa merepotkannya pun orang tua kita. Dengan melihat semua itu, mudah-mudahan di masa tua nanti, ketika kita tak dapat berbuat banyak, anak kita akan melakukan hal yang sama. Merawat kita dengan penuh cinta.
Bagi yang tidak punya keturunan sekalipun. Sayangi dan berbuat baiklah kepada semua orang, khususnya bagi para orangtua yang lemah. Dengan begitu kita telah mengukir kenangan yang indah dalam memori orang-orang di sekitar kita. Perbuatan baik kita mudah-mudahan menjadi panutan bagi setiap orang yang bersentuhan dengan kita. Dan pada akhirnya, semakin banyak kebaikan berkarya dalam kehidupan ini. Dan mudah-mudahan ketika kita sendiri berada dalam kelemahan, entah karena sakit, entah karena usia lanjut, akan mengalir kebaikan dari orang-orang di sekeliling kita. Segala kebaikan yang kita tabur, takkan ada yang hilang percuma. Saatnya akan tiba untuk menuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar