Sudah dua tahun lebih saya menggunakan jasa becak untuk menyambung perjalanan ke RS setelah turun dari angkutan kota. Umumnya para tukang becak sudah mengenal saya, setidaknya kenal muka. Beberapa dari mereka bahkan telah menjadi langganan saya sehingga kami tak perlu lagi tawar-menawar harga.
Suatu ketika sopir angkot tidak mendengar saya menyetop mobil sehingga terpaksa saya turun agak jauh dari pangkalan becak tempat saya biasa turun. Di situ kebetulan ada sebuah becak yang sedang mangkal. Si tukang becak pun langsung menawarkan becaknya. Tanpa tawar-menawar saya langsung naik dan menyebut arah RS.
Sesampai di depan RS saya turun dan langsung menyodorkan empat lembar uang seribuan yang sebelumnya telah saya siapkan. Setelah sekilas melihat jumlah uang saya sodorkan, si tukang becak sedikit mengernyitkan dahi, tidak mau menerima uang itu, sambil berkata “Lima ribu, mas”. Wah mahal sekali pikir saya.
Saya pun mengatakan bahwa biasanya cuma empat ribu. Dan ini bukan kali pertama saya naik becak di tempat itu. Lagi pula jarak yang ditempuh sekarang lebih dekat daripada jarak yang biasa ditempuh becak langganan saya. Jadi saya merasa telah memberikan harga yang pas. Tetapi rupanya si tukang becak ini tak mau tahu. Dia tetap meminta bayaran lima ribu rupiah. Akhirnya karena merasa tak perlu memperdebatkan perbedaan tarif seribu rupiah itu, saya pun mengalah dan menambah satu lembar lagi uang seribuan sambil tersenyum disertai ucapan terima kasih. Si tukang becak pun menerima dan langsung pergi.
************
Jika kita peka, kita dapat melihat kenyataan bahwa di sekitar kita masih banyak orang yang hidupnya tidak seberuntung kita. Himpitan ekonomi yang begitu berat memang menjadi kenyataan yang memilukan. Orang-orang miskin seperti si tukang becak tadi, untuk makan minum sehari-hari saja seringkali begitu sulit dipenuhi. Apalagi kalau dia punya istri dan beberapa orang anak, mungkin sekolah takkan lagi terpikirkan. Karena itu mereka harus kerja keras agar kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi, setidaknya untuk hari itu.
Namun di tengah kesulitan hidup yang ada, hati saya selalu terenyuh menyaksikan orang-orang kecil yang jujur dan mau berbagi dengan orang lain. Hidup berkekurangan tidak membuat mereka menghalalkan segala cara atau mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain.
Saya teringat bagaimana seorang tukang becak menolong saya ketika melakukan penelitian di Blitar, Jawa Timur. Sebagai orang baru, saya sama sekali tidak tahu dimana tempat yang saya tuju. Karena itu, kemana-mana saya selalu bertanya dan menumpang becak. Syukurlah para tukang becak di sana selalu ramah dan dengan senang hati mengantar saya ke tempat yang saya sebutkan. Kami sama sekali tidak tawar menawar harga. Si tukang becak menyuruh saya membayar seikhlasnya saja, terserah. Bahkan sebelum saya membayar, si tukang becak menyuruh saya untuk bertanya apakah benar itu adalah tempat yang saya maksudkan. Setelah masuk dan bertanya serta memastikan bahwa itu adalah tempat yang saya maksudkan, barulah si tukang becak itu menerima bayaran lalu pergi. Tetapi kalau ternyata bukan, si tukang becak akan meminta saya kembali naik dan mencari tempat yang saya maksud. Si tukang becak bahkan berkata “Kalau gak ketemu, gak usah dibayar”.
Pengalaman bersama tukang becak yang baik di hati di Blitar itu, mengajarkan satu makna kehidupan bahwa kesulitan, kekurangan, dan berbagai keterbatasan tidaklah menjadi penghalang untuk selalu hidup jujur dan benar. Di tengah himpitan kemiskinan, seseorang tetap bisa hidup mulia. Kesulitan hidup tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk melakukan hal-hal tak terpuji. Kesulitan hidup tidak boleh menjadi alasan untuk merugikan orang lain. Kesulitan hidup tidak boleh merendahkan martabat kita sebagai manusia.
Sayangnya ada banyak orang yang tidak sabar dan tidak kuat menghadapi kesulitan hidup. Banyak kebohongan, penipuan, perampokan, dan berbagai kejahatan lain dilakukan dengan alasan terpaksa karena himpitan ekonomi. Saya yang juga berasal dari keluarga kurang mampu, mengerti betul apa artinya kekurangan. Tetapi jika karena alasan itu lantas saya melakukan hal-hal yang tidak terpuji, tidak jujur, atau merugikan orang lain, lalu apa yang bisa dibanggakan dari orang kecil seperti saya? Sudah miskin, penipu pula! Ah pasti ini kecurigaan saya saja. Orang kecil bisa hidup mulia kok J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar